Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 September 2024

Urgensi Thaharah dan Jenis-jenisnya

Thaharah adalah syarat utama dalam shalat, yang menempati posisi penting dan harus didahulukan sebelum menjalankan kewajiban tersebut. Thaharah dibagi menjadi dua jenis:

Pertama: Thaharah maknawi, yaitu kesucian hati dari syirik, maksiat, dan segala hal yang mengotorinya. Kesucian ini lebih penting dibandingkan dengan kesucian fisik, karena kesucian fisik tidak mungkin terwujud jika masih terdapat najis berupa syirik. Allah berfirman: إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis." (QS. At-Taubah: 28)

Kedua: Thaharah indrawi, yaitu kesucian yang berkaitan dengan fisik.

Definisi Thaharah: Secara bahasa berarti bersih dan suci dari segala kotoran. Dalam istilah, thaharah bermakna menghilangkan hadats dan membersihkan khabats.

Menghilangkan hadats artinya menghapuskan halangan yang mencegah seseorang melakukan shalat dengan menggunakan air. Jika hadats besar, seluruh tubuh harus disucikan dengan air. Sedangkan jika hadats kecil, cukup dengan berwudhu. Jika tidak ada air atau seseorang tidak mampu menggunakannya, tayamum dapat dilakukan sebagai penggantinya. Penjelasan lebih lanjut mengenai tayamum akan dibahas pada bab tayamum.

Melenyapkan khabats artinya menghilangkan najis dari tubuh, pakaian, dan tempat shalat.

Thaharah indrawi terdiri dari dua bagian: yang pertama adalah bersuci dari hadats, yang berkaitan dengan tubuh. Kedua adalah bersuci dari khabats (najis), yang meliputi tubuh, pakaian, dan tempat shalat.

Hadats dibagi menjadi dua jenis: hadats kecil, yang memerlukan wudhu, dan hadats besar, yang memerlukan mandi. Khabats atau najis terdiri dari tiga kategori: najis yang harus dicuci, najis yang cukup diperciki air, dan najis yang diusap.

Air yang Layak untuk Thaharah

Thaharah memerlukan sarana, yaitu air, untuk menghilangkan najis dan hadats. Air yang layak untuk bersuci disebut al-Ma` ath-Thahur, yaitu air yang suci dan dapat menyucikan. Air ini adalah air murni yang belum tercampur dengan unsur lain, seperti air hujan, salju, embun, atau air yang mengalir dari sungai, mata air, sumur, dan laut.

Hal ini sesuai dengan firman Allah: وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ "Dan Allah menurunkan bagi kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengannya." (QS. Al-Anfal: 11)

Dan firman-Nya: وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci." (QS. Al-Furqan: 48)

Rasulullah juga bersabda: اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ "Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju, dan embun."

Dalam hadits lain, Rasulullah menyatakan bahwa air laut itu suci dan bangkainya halal: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ "Laut itu suci airnya dan bangkainya halal."

Thaharah tidak dapat dilakukan dengan cairan selain air, seperti cuka, bensin, jus, atau air jeruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا "...jika kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik." (QS. Al-Ma'idah: 6)

Seandainya thaharah bisa dilakukan dengan cairan lain selain air, tentunya Allah akan mengarahkan kita kepada cairan tersebut, bukan kepada tanah (tayamum).

Kamis, 12 September 2024

Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam

Pembahasan ni adalah terkait dengan prinsip-prinsip pernikahan. Pernikahan dalam Islam merupakan ikatan suci yang memiliki tujuan luhur dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sebagai salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW, pernikahan diatur dengan prinsip-prinsip yang jelas untuk membangun hubungan yang kokoh dan harmonis antara suami dan istri. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar pernikahan dalam Islam:
1. Niat yang Ikhlas
Setiap pernikahan harus didasari dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah SWT. Tujuan utama menikah bukan sekadar pemenuhan hasrat biologis, tetapi untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjalankan syariat-Nya. Niat yang benar akan membawa keberkahan dalam rumah tangga dan menjadi sumber ketenangan jiwa.
2. Keadilan dan Kesetaraan

Prinsip keadilan dalam pernikahan sangat ditekankan dalam Islam. Baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Dalam surah Al-Baqarah ayat 228, Allah SWT menjelaskan bahwa hak dan kewajiban antara suami dan istri bersifat setara, meskipun keduanya memiliki peran yang berbeda. Keadilan ini memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diabaikan.
3. Musyawarah dan Kerjasama
Islam mengajarkan bahwa keputusan dalam rumah tangga sebaiknya diambil melalui musyawarah atau diskusi bersama. Suami dan istri harus saling mendengarkan, memahami, dan bekerja sama dalam mengurus keluarga. Prinsip ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah Ash-Shura ayat 38, yang menganjurkan umat Islam untuk bermusyawarah dalam urusan kehidupan.
4. Kasih Sayang dan Cinta
Kasih sayang dan cinta adalah fondasi penting dalam pernikahan. Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 21: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." Cinta dan kasih sayang akan mempererat hubungan suami istri serta menciptakan suasana yang penuh kehangatan dalam rumah tangga.
5. Sabar dan Lapang Dada
Dalam menjalani pernikahan, suami dan istri harus memiliki sifat sabar dan lapang dada. Tidak jarang terjadi perbedaan pendapat atau konflik dalam rumah tangga, namun dengan kesabaran dan pengertian, permasalahan dapat diselesaikan secara damai. Sabar juga diperlukan dalam menghadapi ujian atau kesulitan hidup, sehingga pasangan dapat saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.
6. Tanggung Jawab dan Komitmen
Pernikahan adalah perjanjian suci yang melibatkan komitmen besar. Suami bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya secara lahir dan batin, sedangkan istri memiliki kewajiban untuk menjaga rumah tangga dan mendidik anak-anak. Kedua belah pihak harus menjunjung tinggi komitmen yang telah disepakati dan menjalankan peran mereka dengan penuh tanggung jawab.
7. Kepemimpinan Suami dalam Keluarga
Islam menetapkan bahwa suami adalah pemimpin dalam keluarga, sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 34. Namun, kepemimpinan ini bukan berarti otoriter, melainkan kepemimpinan yang didasari dengan kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan. Suami harus menjadi pelindung, penasehat, dan pengayom bagi istri dan anak-anaknya.
8. Keterbukaan dan Kejujuran
Keterbukaan dan kejujuran adalah kunci dalam menjaga hubungan yang sehat dan harmonis dalam pernikahan. Suami dan istri harus saling terbuka dalam hal apapun, termasuk dalam urusan keuangan, perasaan, atau masalah pribadi. Dengan kejujuran, rasa saling percaya akan tumbuh dan memperkuat ikatan pernikahan.
9. Menjaga Kehormatan dan Kesetiaan
Pernikahan menuntut kedua belah pihak untuk menjaga kehormatan dan kesetiaan. Suami dan istri harus saling setia dan menjaga diri dari perbuatan yang dapat merusak hubungan mereka, seperti perselingkuhan atau tindakan yang melanggar norma agama. Kesetiaan adalah pilar penting yang menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.
10. Pendidikan Anak yang Islami
Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk melahirkan keturunan yang saleh dan salehah. Oleh karena itu, suami istri bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai Islam, memberikan teladan yang baik, serta membimbing mereka agar tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia.
Prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam memberikan landasan yang kokoh bagi suami dan istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, diharapkan tercipta keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan menjadi tempat yang aman serta nyaman bagi semua anggotanya. Sebagaimana tujuan utama pernikahan, yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, prinsip-prinsip ini harus selalu dipegang teguh oleh setiap pasangan muslim. Semoga bermanfaat

Sabtu, 07 September 2024

Perceraian adalah Solusi Terakhir, Namun Dibenci Allah

Berdasarkan data perceraian dari Badan Pusat Statistik untuk periode 2021 hingga 2023, terlihat adanya tren penurunan jumlah perceraian yang signifikan. Pada tahun 2021, jumlah perceraian tercatat sebanyak 3.798 kasus. Angka ini kemudian menurun menjadi 3.308 kasus pada tahun 2022, dan semakin menurun pada tahun 2023 dengan jumlah 2.490 kasus. Penurunan ini memberikan gambaran tentang perubahan dalam dinamika kehidupan rumah tangga di Indonesia yang menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Namun, masih banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk memahami secara menyeluruh penyebab di balik angka-angka ini.
Faktor-faktor utama yang menyebabkan perceraian di antaranya adalah zina, mabuk, judi, penggunaan narkoba (madat), meninggalkan salah satu pihak, hukuman penjara, poligami, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari tahun ke tahun, faktor "meninggalkan salah satu pihak" menjadi alasan paling umum, meski jumlahnya terus menurun dari 3.091 kasus pada 2021 menjadi 1.771 kasus pada 2023. Hal ini menunjukkan adanya perubahan positif dalam komitmen pasangan untuk tetap bersama, meskipun masih terdapat banyak kasus yang terjadi akibat ketidakhadiran salah satu pihak dalam hubungan pernikahan.
Jika kita melihat persentase penurunan dari tahun 2021 hingga 2022, terdapat penurunan sebesar 12,90%. Penurunan ini mungkin mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya mempertahankan keutuhan keluarga, atau mungkin adanya peningkatan dalam akses terhadap mediasi dan konseling perkawinan. Namun, persentase penurunan yang lebih tajam terjadi antara 2022 dan 2023, di mana jumlah perceraian turun hingga 24,73%. Hal ini menunjukkan upaya yang lebih intensif, baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun institusi sosial dalam mengurangi angka perceraian.
Meskipun terdapat penurunan yang signifikan, faktor-faktor seperti mabuk, judi, poligami, dan KDRT tetap menjadi masalah yang mempengaruhi stabilitas rumah tangga di Indonesia. Faktor-faktor ini perlu ditangani dengan lebih serius melalui kebijakan yang lebih tegas dan program-program rehabilitasi atau edukasi yang lebih komprehensif. Selain itu, perlunya peran aktif dari masyarakat dalam mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga keutuhan keluarga, serta memberikan dukungan kepada pasangan-pasangan yang menghadapi masalah dalam rumah tangga. Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga keagamaan, diharapkan tren penurunan perceraian dapat terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Perceraian dalam hukum Islam merupakan solusi terakhir yang dibolehkan ketika tidak ada lagi jalan keluar untuk mempertahankan pernikahan. Islam mengakui bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan ketentraman. Namun, ketika hubungan suami istri sudah tidak harmonis dan segala upaya rekonsiliasi gagal, Islam memberikan hak kepada pasangan untuk bercerai sebagai bentuk perlindungan terhadap keduanya. Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 229 mengatur perceraian dengan batasan yang jelas, menunjukkan bahwa keputusan ini harus diambil dengan pertimbangan matang.
Meskipun diperbolehkan, perceraian tetap dianggap sebagai solusi yang paling dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian" (HR. Abu Dawud). Hal ini karena perceraian dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasangan, anak-anak, dan masyarakat. Sebagai umat Islam, dianjurkan untuk terlebih dahulu mencari solusi melalui mediasi, musyawarah, dan bahkan terapi, sebelum memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Islam selalu menganjurkan untuk mengedepankan perdamaian dan penyelesaian masalah secara baik.
Namun, jika perceraian tetap menjadi pilihan yang tak terhindarkan, hukum Islam memberikan prosedur yang adil dan menjaga hak-hak kedua belah pihak. Dalam konteks ini, perceraian bukanlah jalan pintas, melainkan upaya terakhir setelah semua jalan perbaikan ditempuh. Dengan demikian, perceraian dalam Islam adalah solusi yang sah secara hukum, tetapi tetap harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran akan dampaknya.

Sabtu, 24 Agustus 2024

Perbandingan Sanksi Hukum terhadap Bullying dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam

Perilaku bullying memiliki karakteristik tindakan yang merugikan orang lain. Tindakan bullying ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena dampaknya terhadap korban bisa menyebabkan trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Maraknya kasus bullying menunjukkan perlunya peraturan hukum yang tegas, mengingat bullying termasuk dalam kategori tindak pidana yang seharusnya dapat dijerat melalui jalur hukum. 

Meskipun dalam Undang-Undang belum ada peraturan khusus yang mengatur tindak pidana bullying secara eksplisit, unsur-unsur yang terkait dengan bullying sebenarnya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang sudah ada dalam KUHP. Dalam perspektif hukum Islam, tindak pidana bullying juga belum diatur secara khusus. Namun, tindakan bullying dapat dianggap sebagai perilaku merendahkan atau menzhalimi orang lain, yang dijelaskan dalam hadis maupun Al-Qur’an. Jika perbuatan tersebut disertai dengan kekerasan yang menimbulkan luka, maka pelaku dapat dikenakan hukuman jinayah dalam hukum Islam. 

Dengan demikian, terdapat persamaan dan perbedaan dalam sanksi hukum bullying antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam yang bisa dijadikan bahan perbandingan.

Rabu, 21 Agustus 2024

Pandangan Ulama 4 Mazhab tentang Aborsi

Saat ini menggugurkan kehamilan atau yang biasa disebut dengan aborsi telah menjadi hal yang tidak lagi dirahasiakan, terutama dengan meningkatnya pergaulan bebas dan angka kehamilan di luar nikah. Fenomena-fenomena ini mendorong sejumlah orang untuk memilih aborsi sebagai solusi atas masalah mereka. Aborsi sendiri didefinisikan sebagai tindakan untuk menggugurkan kandungan sebelum waktunya, sehingga janin tidak mampu bertahan hidup di luar rahim ibunya. Aborsi tidak hanya terjadi pada wanita yang belum menikah, tetapi juga pada wanita yang sudah bersuami. Beragam faktor menjadi alasan wanita melakukan aborsi, mulai dari kekhawatiran terhadap kesehatan janin atau ibu, ketidakmampuan ekonomi, hingga alasan keluarga berencana.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pandangan empat mazhab terhadap praktik aborsi ini? Apakah aborsi dianggap haram secara mutlak atau ada kondisi tertentu yang memperbolehkannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami bahwa aborsi dibedakan menjadi dua fase, yaitu sebelum ditiupkannya ruh dan sesudahnya. Proses peniupan ruh terjadi ketika janin berusia 4 bulan atau 120 hari sejak pembuahan, yang dihitung dari hari pertama menstruasi terakhir.
Pengetahuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits tersebut menggambarkan perkembangan janin dalam rahim, yang dimulai sebagai setetes mani selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari berikutnya, dan menjadi segumpal daging selama 40 hari terakhir sebelum ditiupkan ruh. Pada usia 120 hari ini, ulama menyatakan bahwa janin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya.
Para ulama empat mazhab sepakat bahwa aborsi setelah ditiupkannya ruh pada janin adalah haram. Pandangan ini berlaku secara umum, tanpa memandang apakah keberadaan janin dapat membahayakan ibu atau tidak. Misalnya, menurut mazhab Hanafi, aborsi tetap diharamkan meskipun kehamilan berisiko bagi ibu, karena kematian ibu hanya merupakan kemungkinan, sedangkan aborsi berarti membunuh kehidupan yang sudah ada.
Sebelum ditiupkannya ruh, pandangan para fuqaha empat mazhab berbeda. Mazhab Hanafi cenderung membolehkan aborsi selama janin belum mencapai usia 120 hari, sedangkan mazhab Maliki dan Syafi'i umumnya mengharamkan aborsi sejak awal. Adapun mazhab Hanbali memperbolehkan aborsi dalam 40 hari pertama kehamilan, tetapi mengharamkannya setelah itu. Pandangan-pandangan ini menunjukkan variasi interpretasi hukum aborsi dalam Islam, yang harus dipertimbangkan dengan bijak sesuai konteks dan kondisi yang ada. Semoga bermanfaat

Senin, 19 Agustus 2024

Urf dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Hukum Islam

Apa sesungguhnya yang dimaksd urf? Berikut ini akan dikemukakan pengertian urf. Secara etimologi Kata Urf  berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan pengertian urf secara terminologi berarti Perbuatan atau perkataan yang telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan suatu masyarakat bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi mereka. Istilah 'urf dalam pengertian tersebut sama dengan istilah al-'adah (adat istiadat). Kata al-‘adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

Urf atau juga disebut dengan budaya atau kearifan lokal Dalam hukum Islam, konsep 'urf' merujuk kepada kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat. 'Urf' memiliki peran penting dalam pengembangan dan penerapan hukum Islam, terutama dalam konteks di mana Al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas. Kearifan lokal, atau tradisi dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tertentu, sering kali menjadi bagian integral dari 'urf'. Dalam perspektif hukum Islam, 'urf' dapat dijadikan dasar hukum selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, kearifan lokal yang sejalan dengan syariah dapat diakui dan diterapkan dalam hukum Islam.

Kearifan lokal sering kali mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang telah lama berkembang dalam suatu masyarakat, dan karenanya memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Dalam pandangan Islam, 'urf' yang baik adalah yang mengandung nilai-nilai keadilan, kemaslahatan umum, dan kemanusiaan. Misalnya, praktik-praktik lokal yang mendorong kerukunan antarumat beragama atau menjaga lingkungan dapat dianggap sebagai 'urf' yang baik dan dapat didukung oleh hukum Islam. Dengan demikian, kearifan lokal menjadi instrumen penting dalam penerapan hukum Islam yang kontekstual dan relevan dengan kondisi masyarakat.

Perlu juga kita ketahui bahwa tidak semua bentuk 'urf' dapat diterima dalam hukum Islam. Jika suatu 'urf' bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti praktik yang mengandung unsur syirik atau menindas hak-hak individu, maka 'urf' tersebut harus ditolak. Ini menunjukkan bahwa meskipun 'urf' dan kearifan lokal memiliki nilai yang signifikan, mereka harus selalu dievaluasi berdasarkan kesesuaiannya dengan syariah. Prinsip ini memastikan bahwa penerapan hukum Islam tetap konsisten dengan ajaran dasar agama, sambil tetap menghargai kekhasan dan keragaman budaya lokal.

Di negara Republik Indonesia yang memiliki keberagaman budaya yang sangat tinggi, penerapan 'urf' dan kearifan lokal dalam hukum Islam menjadi semakin relevan. Banyak tradisi lokal di berbagai daerah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti gotong royong, musyawarah, dan saling menghormati. Hukum Islam di Indonesia sering kali mengakomodasi kearifan lokal ini dalam berbagai aspek, seperti dalam hukum keluarga, adat istiadat, dan penyelesaian sengketa. Dengan demikian, 'urf' dan kearifan lokal berperan penting dalam menjaga harmoni sosial dan keadilan di tengah masyarakat yang majemuk.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa integrasi antara 'urf', kearifan lokal, dan hukum Islam menggambarkan fleksibilitas dan adaptabilitas hukum Islam dalam menghadapi realitas sosial yang beragam. Hal ini memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan dan fungsional dalam berbagai konteks budaya dan geografis. Pendekatan ini juga menegaskan pentingnya dialog antara nilai-nilai agama dan tradisi lokal dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

Kamis, 01 Agustus 2024

Pengertian fiqh, syari'ah dan ushul fiqh

Kata fiqh secara bahasa Fikih (اَلْفِقْهُ) berarti pemahaman. Termasuk dalam makna ini Firman Allah tentang kaum syu'aib (QS. Hud: 91)

مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ

Adapun fiqh menurut istilah adalah “ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliah yang tergali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian dapat dipahami  bahwa fiqh bukanlah hukum syar'i itu sendiri, tetapi interprestasi terhadap hukum syar'i.

Syari’ah adalah titah allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan (untuk melaksanakan atau meningggalkan), pilihan, maupun berupa wadh'i (syarat, sebab, halangan, sah, batal, dan rukhshah)”.

Ushul fiqh yang secra bahasa berarti dasar-dasar fiqh. Sedangkan menurut istilah, usul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk mengistinbathkan (menggali/mengeluarkan) hokum islam dari dalil-dalilnya yang terinci. Hal-hal yang di bicarakan dalam ushul fiqh adalah kaidah-kaidah fiqhiyyah, kaida-kaidah ushuliyyah, kaidah-kaidah bahasa, dan metode-metode dalam berijtihad.

 Sumber-sumber fikih yang pokok

1.      al-Qur'an

2.      Hadis

3.      Ijma

4.      Qiyas

Pembagian fiqh

Bila ditinjau dari lapangan hukumnya maka fiqh dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.      Fiqh ibadah yaitu perbuatan dan perkataan para mukallaf yang berhubungan langsung dengan allah SWT. Hal yang dibahas dala fiqh ibadah adalah masalah-masalah thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2.      Fiqh mu'amalat yaitu perkataan dan perbuatan para mukallaf yang berkaitan dengan sesamanya. Lingkup pembahasan fiqh mu'amalat sekitar masalah bisnis dan jual beli, masalah perkawinan dan perceraian, waris, peradilan, hukum pidana, maslah kenegaraan, dan hubungan internasional.

Sumber dan dasar hukum Islam

Sesungguhnya sumber hokum islam hanya ada dua yakni al-Qur’an dan al-sunnah. Segala persoalan yang muncul harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Dalam hal ini, al-Qur'an merupakan rujukan utama, sedangkan al-sunnah al-maqbulah yang diceritakan melalui hadis Nabi Saw adalah sumber hokum kedua yang berfungsi sebagai penjelas kehendak Allah dalam al-Qur’an.

Tujuan hukum Islam

Semua hukum yang disyar'i atau diundangkan oleh Allah SWT mesti memiliki tujuan. Tujuan ini dalam istilah ilmu fiqh dikenal dengan istilah tujuan persyari'atan atau biasa juga disebut dengan tujuan hukum Islam. Tujuan disyariatkannya hokum dalam islam adalah untuk meralisir kemashlahatan manusia dan sekaligus menghindarkan kemadharatan.

Asas-asas hukum Islam

Ada lima asas hukum Islam yang dijadikan sebagai prinsip dasar pensyari’atan atau penetapan hokum islam, yaitu:

1.      Meniadakan kesempitan

2.      Menyedikitkan beban

3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum bagaimana pun juga, masyarakat arab pada waktu itu telah mempunyai kebudayaan dan tradisi jahiliyah yang sudah mengakar kuat.

4.      Sejalan dengan kemashlatan manusia sesungguhnya hukum atau syari’at Islam ditetapkan oleh Allah SWT tidak kecuali hanya untuk kemashlahatan (kebaikan) umat manusia semata.

5.      Mewujudkan keadilan yang merata.

Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah

Kaidah fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang dirumuskan oleh fiqh yang bersumber dari syari’at dengan didasarkan pada asas dan tujuan persyari’atan. Tujuan persyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.

Selasa, 17 Oktober 2023

Dampak Campur Tangan Orang Tua dalam Perceraian

Perceraian sering kali menjadi pilihan terakhir bagi pasangan yang merasa tidak lagi dapat menyelamatkan hubungan mereka. Salah satu faktor penyebab yang sering muncul adalah campur tangan orang tua. Dalam banyak kasus, pasangan merasa tertekan oleh harapan dan tuntutan orang tua yang berlebihan. Mereka mungkin menghadapi tekanan untuk mengikuti tradisi atau nilai-nilai keluarga yang tidak selalu sejalan dengan kehidupan pernikahan modern. Akibatnya, pasangan tersebut sering merasa terjebak di antara keinginan mereka sendiri dan harapan orang tua, yang pada akhirnya memicu konflik berkepanjangan. Ketika komunikasi antara pasangan tidak efektif, masalah ini dapat membesar dan menjadi alasan utama perceraian.

Campur tangan orang tua dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari nasihat yang tidak diminta hingga kritik terbuka terhadap pasangan. Orang tua sering kali merasa berhak memberikan pendapat tentang keputusan penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Meskipun niatnya baik, campur tangan semacam ini bisa mengikis kemandirian pasangan dan menimbulkan ketegangan. Ketika salah satu atau kedua pasangan merasa bahwa keputusan mereka selalu dipengaruhi oleh pihak ketiga, hubungan mereka bisa terganggu. Ketidakpuasan ini sering kali menyebabkan konflik internal yang sulit diatasi tanpa bantuan profesional.

Pada beberapa kasus, tekanan dari orang tua bahkan bisa mencapai tahap di mana salah satu pasangan merasa terasing. Mereka mungkin merasa bahwa orang tua pasangan lebih penting daripada hubungan itu sendiri. Ketidakmampuan untuk menetapkan batasan yang sehat antara kehidupan pernikahan dan pengaruh eksternal ini sering kali menjadi akar masalah yang mendalam. Di sinilah pentingnya komunikasi yang terbuka dan tegas antara pasangan. Dengan membicarakan batasan-batasan yang diperlukan, pasangan dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk mengatasi campur tangan eksternal.

Menghadapi campur tangan orang tua dalam pernikahan membutuhkan kebijaksanaan dan kesabaran. Setiap pasangan perlu belajar bagaimana menghormati orang tua sambil tetap menjaga batasan yang sehat. Memahami bahwa orang tua memiliki niat baik tetapi tidak selalu mengerti dinamika pernikahan modern adalah langkah awal yang penting. Dalam beberapa situasi, konseling pernikahan dapat menjadi solusi untuk membantu pasangan mengatasi pengaruh negatif ini. Dengan bimbingan yang tepat, pasangan dapat belajar untuk memprioritaskan hubungan mereka di atas tekanan dari pihak luar.

Pada akhirnya, pernikahan adalah tentang dua individu yang membangun kehidupan bersama. Campur tangan orang tua yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ini dan mengarah pada konflik yang tidak perlu. Namun, dengan komunikasi yang baik dan penetapan batasan yang jelas, pasangan dapat menghadapi tantangan ini bersama-sama. Penting untuk mengingat bahwa setiap hubungan memiliki dinamika yang unik, dan tidak ada solusi yang sama untuk semua. Yang terpenting adalah komitmen untuk saling mendukung dan menghormati batasan yang ada, sehingga pernikahan dapat bertahan menghadapi berbagai cobaan.

Senin, 14 Februari 2022

Integrasi Maqasyid Syariah dan Kearifan Lokal untuk Masyarakat Berkelanjutan

Maqasyid Syariah, yang secara harfiah berarti tujuan-tujuan Syariah, adalah konsep dalam hukum Islam yang berfokus pada perlindungan dan pemeliharaan lima aspek fundamental kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Konsep ini dirancang untuk memastikan kesejahteraan manusia melalui implementasi hukum yang adil dan bijaksana. Di sisi lain, kearifan lokal merujuk pada pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam masyarakat lokal berdasarkan pengalaman dan adaptasi dengan lingkungan mereka. Menggabungkan Maqasyid Syariah dengan kearifan lokal dapat menciptakan harmonisasi antara ajaran agama dan praktik budaya, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Maqasyid Syariah mencakup lima tujuan utama: perlindungan agama (Hifz al-Din), perlindungan jiwa (Hifz al-Nafs), perlindungan akal (Hifz al-Aql), perlindungan keturunan (Hifz al-Nasl), dan perlindungan harta (Hifz al-Mal). Perlindungan agama bertujuan menjaga kebebasan beragama dan memastikan praktik keagamaan dapat dilakukan tanpa gangguan. Perlindungan jiwa menjamin keselamatan dan kesehatan setiap individu melalui hukum yang melarang kekerasan dan tindakan merusak. Perlindungan akal memelihara kesehatan mental dan intelektual melalui pendidikan dan pelarangan terhadap hal-hal yang merusak akal. Perlindungan keturunan menjaga kehormatan dan kesinambungan keluarga melalui aturan pernikahan yang adil. Perlindungan harta melindungi hak milik individu dari perampasan dan penipuan.

Kearifan lokal mencerminkan pengetahuan dan praktik yang berkembang dalam suatu komunitas lokal, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti pertanian, kesehatan, adat istiadat, dan lingkungan. Nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap alam sering kali menjadi inti dari kearifan lokal. Praktik-praktik ini tidak hanya membantu masyarakat dalam mengatasi tantangan sehari-hari tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan identitas budaya.

Mengintegrasikan Maqasyid Syariah dengan kearifan lokal dapat membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan penerapan hukum Islam yang lebih relevan dan adaptif terhadap konteks lokal. Misalnya, nilai gotong royong dalam kearifan lokal dapat diperkuat oleh prinsip solidaritas sosial dalam Maqasyid Syariah, menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan saling membantu. Integrasi ini juga dapat meningkatkan pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap hukum Islam. Ketika hukum Islam diterapkan dengan mempertimbangkan kearifan lokal, masyarakat akan merasa bahwa hukum tersebut tidak hanya mengatur tetapi juga melindungi dan menghargai budaya mereka. Hal ini akan meningkatkan rasa memiliki dan kepatuhan terhadap hukum tersebut.

Pendekatan ini dapat mempromosikan kesejahteraan masyarakat secara lebih holistik. Dengan memadukan perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam Maqasyid Syariah dengan nilai-nilai kearifan lokal, masyarakat dapat mencapai keseimbangan antara perkembangan spiritual dan material. Misalnya, perlindungan terhadap alam dalam kearifan lokal dapat diperkuat oleh prinsip perlindungan jiwa dan harta dalam Maqasyid Syariah, mendorong praktik-praktik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Maqasyid Syariah dan kearifan lokal, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, dapat saling melengkapi dalam menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan harmonis. Integrasi keduanya memungkinkan penerapan hukum Islam yang relevan dengan konteks lokal dan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya melindungi nilai-nilai agama dan budaya tetapi juga mempromosikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, menggabungkan Maqasyid Syariah dan kearifan lokal merupakan langkah penting dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dan inklusif.