Tampilkan postingan dengan label studi Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label studi Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 September 2024

Dirasah Islamiah

Kajian Islam atau Studi Keislaman, dalam pengertian sederhana, dapat diartikan sebagai usaha untuk memahami segala hal yang berkaitan dengan agama Islam. Dengan kata lain, ini adalah upaya yang sadar dan sistematis untuk menggali, memahami, dan mendalami aspek-aspek yang berkaitan dengan agama Islam, baik itu ajaran-ajaran, sejarah, maupun praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Proses mempelajari Islam tidak hanya dilakukan oleh umat Islam sendiri, tetapi juga oleh individu dari luar komunitas Islam. Studi keislaman oleh umat Islam memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang berasal dari luar komunitas Islam. Di kalangan umat Islam, tujuan utamanya adalah untuk memahami, mendalami, dan menerapkan ajaran Islam secara benar serta menjadikannya sebagai pedoman hidup. Sedangkan bagi yang bukan umat Islam, studi ini bertujuan untuk memahami agama Islam dan praktiknya sebagai ilmu pengetahuan semata. Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, hasil studi ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan, baik positif maupun negatif.

Para akademisi di luar Islam yang mempelajari Islam dikenal sebagai orientalis, yaitu orang-orang dari Barat yang mempelajari dunia Timur, termasuk dunia Islam. Di masa awal, studi mereka lebih fokus pada kelemahan ajaran Islam dan praktik keagamaan umatnya. Namun, tidak sedikit juga di antara mereka yang memberikan pandangan yang obyektif dan ilmiah tentang Islam, yang bisa bermanfaat bagi pengembangan studi keislaman dalam komunitas Muslim.

Dalam sejarah, setelah "masa kejayaan Islam" berakhir dan umat Islam memasuki "masa kemunduran," pendekatan terhadap studi Islam yang dominan di kalangan ulama lebih bersifat subyektif, apologis, dan dogmatis. Mereka cenderung menutup diri terhadap pendekatan dari luar yang bersifat obyektif dan rasional. Ajaran Islam, yang pada dasarnya bersifat rasional dan fleksibel terhadap perubahan zaman, berkembang menjadi sesuatu yang kaku dan tertutup terhadap inovasi. Akibatnya, kehidupan agama dan budaya sosial umat Islam tampak stagnan dan tertinggal. Fenomena ini menjadi objek studi para orientalis yang melihatnya dengan pendekatan ilmiah dan obyektif, mengungkap bahwa praktik Islam yang terlihat tidak selalu sesuai dengan rasionalitas dan tantangan zaman.

Dengan adanya interaksi antara budaya modern dan Islam, para ulama mulai membuka diri terhadap pandangan luar. Ini membawa pendekatan rasional dan obyektif ke dalam studi keislaman umat Islam sendiri. Akibatnya, studi Islam semakin berkembang dan menjadi relevan, terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern dan era globalisasi yang semakin kompleks.

Kamis, 22 Agustus 2024

Pengertian Dirasah Islamiyah Secara Bahasa dan Istilah

Mungkin anda bertanya, apa sesunggunya pengertian dirasah Islamiyah? Artikel ini akan mengemukakan pengertin Dirasah Islamiyah, baik pengertian dirasah Islamiyah menurut bahasa maupun pengertian dirasah Islamiyah menurut istilah, serta pengertian Dirasah Islamiyah menurut para hali.

Dirasah Islamiyah merupakan istilah yang berasal dari dua kata bahasa Arab, yaitu dirasah yang berarti studi atau kajian, dan Islamiyah yang merujuk kepada Islam. Secara bahasa, dirasah islamiyah dapat diartikan sebagai kajian Islam. Istilah ini mencakup segala bentuk kajian atau studi yang berkaitan dengan Islam, baik itu ajaran-ajaran agama, sejarah, hukum, budaya, dan lain sebagainya yang terkandung dalam Islam.

Pengertian dirasah islamiyah menurut istilah, dirasah islamiyah sering dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari berbagai aspek dalam agama Islam. Pendekatan dalam kajian ini tidak terbatas pada satu bidang saja, melainkan mencakup kajian teologis, hukum Islam (fiqh), sejarah peradaban Islam, etika, serta berbagai ilmu terkait lainnya. Dirasah Islamiyah juga mencakup studi tentang Al-Qur'an, Hadis, Tafsir, dan pemikiran-pemikiran ulama yang berkembang sepanjang sejarah Islam.

Pengertian Dirasah Islamiyah menurut beberapa ahli memberikan definisi yang lebih mendalam mengenai dirasah islamiyah. Menurut Muhammad Abduh, dirasah islamiyah adalah kajian yang bertujuan untuk memahami inti ajaran Islam serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Abduh menekankan pentingnya memahami Islam secara komprehensif, bukan hanya dari sisi teologis, tetapi juga dari aspek sosial dan budaya. Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa dirasah islamiyah harus mencakup kajian kritis terhadap sumber-sumber utama Islam dan relevansinya dengan kehidupan modern. Sayyid Qutb, menyatakan bahwa dirasah islamiyah bukan sekadar kajian teoretis, tetapi juga harus menjadi sarana untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Bagi Qutb, studi Islam harus mampu membawa perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Pendapat ini menekankan bahwa kajian Islam tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga memiliki dimensi praktis yang berhubungan langsung dengan kehidupan umat Muslim.

Secara keseluruhan dapat dipahami bahwa dirasah islamiyah adalah disiplin ilmu yang kompleks dan multidimensional. Selain mempelajari ajaran dasar Islam, studi ini juga berfokus pada bagaimana ajaran tersebut diimplementasikan dalam kehidupan nyata, serta bagaimana Islam berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya. Pendekatan yang holistik ini menjadikan dirasah islamiyah sebagai kajian yang dinamis dan relevan dalam konteks zaman modern. Semoga bermanfaat.

Jumat, 09 Agustus 2024

10 Pendekatan Studi Islam

1. Pendekatan Teologis

Pendekatan teologis dalam studi Islam berfokus pada pemahaman teks-teks suci seperti Al-Qur'an dan Hadis serta doktrin-doktrin yang dihasilkan dari ajaran tersebut. Pendekatan ini bertujuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam teks dan bagaimana ajaran tersebut diterapkan dalam kehidupan umat Islam. Para peneliti menggunakan metode tafsir, baik tafsir bil ma'tsur (berdasarkan riwayat) maupun tafsir bil ra'yi (berdasarkan penalaran), untuk memahami konteks dan implikasi teologis dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis. Pendekatan ini juga melibatkan studi tentang berbagai mazhab teologi dalam Islam seperti Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Mu'tazilah, serta bagaimana mereka memahami konsep-konsep dasar seperti Tuhan, takdir, dan eskatologi.

 2. Pendekatan Historis

Pendekatan historis meneliti perkembangan Islam dari masa nabi Muhammad hingga era modern. Fokusnya adalah pada peristiwa-peristiwa sejarah, perkembangan institusi keagamaan, tokoh-tokoh penting, dan transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah Islam. Peneliti dalam pendekatan ini menggunakan sumber-sumber primer seperti catatan sejarah, biografi, dan arkeologi untuk merekonstruksi peristiwa dan memahami konteks historis dari berbagai aliran dan sekte dalam Islam. Pendekatan ini membantu dalam memahami dinamika dan evolusi Islam serta bagaimana sejarah membentuk praktik dan kepercayaan umat Islam masa kini.

3. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis melihat Islam sebagai fenomena sosial yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat. Studi ini melibatkan analisis tentang bagaimana praktik keagamaan dan keyakinan mempengaruhi struktur sosial, perilaku individu, dan dinamika kelompok. Peneliti sosiologi agama mengeksplorasi bagaimana identitas keagamaan dibentuk dan dipertahankan, peran lembaga keagamaan dalam masyarakat, serta bagaimana gerakan sosial dan politik dipengaruhi oleh ajaran Islam. Pendekatan ini juga mempelajari hubungan antara agama dan isu-isu sosial kontemporer seperti gender, ekonomi, dan globalisasi.

4. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis dalam studi Islam menekankan pada studi tentang budaya dan praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Peneliti menggunakan metode etnografi, termasuk observasi partisipatif dan wawancara mendalam, untuk memahami makna dan fungsi agama dalam konteks budaya tertentu. Pendekatan ini mengeksplorasi ritual, simbol, dan tradisi yang membentuk pengalaman keagamaan individu dan komunitas. Antropolog juga mempelajari bagaimana praktik keagamaan beradaptasi dan berubah dalam menghadapi modernitas dan perubahan sosial.

5. Pendekatan Filosofis

Pendekatan filosofis dalam studi Islam mengeksplorasi aspek-aspek filosofis dari ajaran Islam, seperti konsep tentang Tuhan, manusia, etika, dan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini melibatkan analisis kritis terhadap karya-karya filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd, serta bagaimana pemikiran mereka berinteraksi dengan tradisi filosofis Yunani, Persia, dan India. Peneliti filosofis dalam Islam juga membahas masalah-masalah kontemporer seperti hubungan antara agama dan sains, etika biomedis, dan dialog antaragama, dengan tujuan untuk mengintegrasikan wawasan filosofis ke dalam pemahaman keagamaan.

6. Pendekatan Hukum (Fiqh)

Pendekatan hukum atau fiqh dalam studi Islam berfokus pada studi tentang hukum Islam dan syariah. Ini mencakup analisis tentang sumber-sumber hukum seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma' (konsensus), dan Qiyas (analogi). Peneliti dalam pendekatan ini mempelajari metode interpretasi hukum dan bagaimana hukum Islam diterapkan dalam berbagai konteks sosial, politik, dan ekonomi. Pendekatan ini juga mencakup studi tentang perbandingan mazhab hukum dalam Islam, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, serta bagaimana mereka berbeda dalam penafsiran dan penerapan hukum.

7. Pendekatan Politik

Pendekatan politik mengeksplorasi hubungan antara Islam dan politik, termasuk bagaimana ajaran Islam mempengaruhi sistem politik, pemerintahan, dan kebijakan publik. Studi ini mencakup analisis tentang sejarah politik Islam, termasuk pembentukan dan perkembangan khilafah, negara-negara Islam, dan gerakan politik Islam modern. Pendekatan ini juga membahas peran Islam dalam politik kontemporer, termasuk isu-isu seperti fundamentalisme, radikalisme, dan moderasi dalam politik Islam. Peneliti mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai keadilan, keadaban, dan demokrasi diintegrasikan dalam sistem politik yang berbasis Islam.

8. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi dalam studi Islam meneliti prinsip-prinsip ekonomi Islam dan penerapannya dalam sistem ekonomi modern. Fokusnya adalah pada keadilan ekonomi, distribusi kekayaan, zakat, dan praktik-praktik bisnis yang sesuai dengan syariah. Peneliti dalam pendekatan ini mempelajari teori-teori ekonomi yang berkembang dalam tradisi Islam, serta bagaimana prinsip-prinsip seperti larangan riba (bunga), keadilan distributif, dan etika bisnis diterapkan dalam praktik ekonomi kontemporer. Pendekatan ini juga mencakup studi tentang lembaga keuangan Islam, seperti perbankan syariah dan pasar modal Islam.

9. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis dalam studi Islam mempelajari bagaimana keyakinan dan praktik keagamaan mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku individu. Pendekatan ini melibatkan analisis tentang peran agama dalam membentuk identitas, kesejahteraan psikologis, dan kesehatan mental umat Islam. Peneliti menggunakan metode psikologi klinis, sosial, dan perkembangan untuk mengeksplorasi hubungan antara agama dan aspek-aspek psikologis seperti coping mechanisms, motivasi religius, dan perkembangan moral. Pendekatan ini juga membahas bagaimana ajaran dan praktik keagamaan dapat digunakan sebagai sumber dukungan psikologis dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

10. Pendekatan Kritis

Pendekatan kritis melibatkan analisis kritis terhadap teks-teks, praktik, dan institusi keagamaan Islam dengan tujuan untuk mengungkapkan bias, kekuasaan, dan ideologi yang mendasarinya. Pendekatan ini sering menggunakan teori-teori kritis dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teori gender, postkolonial, dan teori sosial kritis. Peneliti dalam pendekatan ini berusaha untuk mengidentifikasi dan mengkritisi struktur kekuasaan yang ada dalam tradisi keagamaan dan bagaimana mereka mempengaruhi interpretasi dan praktik keagamaan. Pendekatan ini juga mengeksplorasi isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pluralisme agama dalam konteks Islam.

Minggu, 16 Juni 2024

Hubungan Islam dan Kearifan Lokal

Islam sebagai agama yang komprehensif dan inklusif telah mampu berdialog dan berinteraksi dengan berbagai budaya lokal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Proses Islamisasi di Indonesia, yang dimulai sejak abad ke-13, menunjukkan bagaimana Islam mampu beradaptasi dan bersinergi dengan kearifan lokal tanpa kehilangan esensi ajarannya. Interaksi antara Islam dan kearifan lokal ini menghasilkan suatu bentuk keberagamaan yang unik, di mana ajaran-ajaran Islam diterapkan dalam konteks budaya yang beragam. Harmoni antara keduanya tercermin dalam berbagai tradisi dan adat istiadat yang masih lestari hingga kini.

Di berbagai daerah di Indonesia, kita dapat melihat contoh konkret dari sinergi ini. Di Jawa, misalnya, tradisi slametan yang semula merupakan tradisi dan ritual keagamaan orang-orang terdahulu telah diadaptasi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Muslim, dimulai dengan doa-doa Islami. Di Sumatera Barat, prinsip "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" menggambarkan bagaimana adat Minangkabau yang matrilineal disinergikan dengan ajaran Islam. Di Sulawesi Selatan, upacara Maccera Tasi yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Bugis telah diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam, diawali dengan doa-doa dan zikir yang dipimpin oleh tokoh agama setempat.

Proses adaptasi ini membawa banyak manfaat, seperti menciptakan harmoni sosial dan mengurangi konflik antarbudaya, melestarikan tradisi lokal di tengah arus modernisasi, serta memperkuat identitas budaya masyarakat. Integrasi antara Islam dan kearifan lokal juga mendorong peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan budaya, karena nilai-nilai lokal yang positif tetap dijaga dan dikembangkan. Namun, proses ini juga menghadapi tantangan, seperti menjaga kemurnian ajaran Islam dan memastikan bahwa adaptasi budaya tidak mengaburkan esensi ajaran agama yang murni.

Dalam konteks modernisasi dan globalisasi, tantangan ini semakin nyata. Arus globalisasi dapat mengancam keberlanjutan kearifan lokal dan nilai-nilai tradisional, sehingga diperlukan upaya yang terus menerus untuk mempertahankan dan memperkuat sinergi antara Islam dan kearifan lokal. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan ini, diharapkan masyarakat dapat terus memelihara dan memperkuat sinergi tersebut, sehingga keduanya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kesejahteraan dan keharmonisan sosial di Indonesia.

Senin, 30 November 2020

Sejarah Singkat Kodifikasi al-Qur'an

 

Allah menjamin kemurnian dan kesucian al-Qur'an (lihat Q.S. al-Hijr, 15:9), akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan dan pengurangan-pengurangan.

Di samping itu, dalam catatan sejarah, juga dapat dibuktikan bahwa proses penulisan dan kodifikasi al-Qur`an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan.

Al-Qur`an telah selesai ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, beliau langsung memerintakan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka menulis, mereka juga menghafalnya sekaligus mengamalkannya.

Pada awal pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, atas inisiatif Umar Ibnu Khattab, al-Qur`an telah dikodifikasi menjadi sebuah mushaf oleh Zaid bin Tsabit; berdasarkan alasan adanya peristiwa perang Yamamah yang menewaskan 70 penghafal al-Qur'an, sehingga dikhawatirkan  jika peristiwa itu berlanjut, penghafal al-Qur'an akan punah/langka yang dapat mengakibatkan hilangnya keaslian dan kemurnian al-Qur'an.

Al-Qur'an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit itu diserahkan kepada khalifah Abu Bakar dan tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah beliau wafat Mushaf al-Qur’an itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, istri Rasulullah saw. sampai masa kodifikasi al-Qur`an di zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan timbul pertikaian tentang qiraat (bacaan) al-Qur`an. Kalau pertikaian tersebut dibiarkan saja, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum muslimin. Karena itu, Utsman bin Affan berupaya untuk menghilangkan pertikaian tersebut dengan jalan menulis kembali al-Qur'an dengan memakai lahjah (dialek) aslinya yaitu lahjah bahasa Arab Quraisy. Untuk itu, Utsman bin Affan membentuk lajnah (panitia) penulis dan kodifikasi al-Qur'an, yang diketahui oleh Zaid bin Tsabit, anggotanya adalah Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abd. al-Rahman bin Haris bin Hisyam.

Tugas panitia ini ialah mengkodifikasi al-Qur'an, yakni menyalin dari mushaf yang disimpan di rumah Hafsah menjadi sebuah mushaf yang berdialek bahasa Arab Quraisy. Hasil kodifikasi panitia ini, sebanyak lima buah mushaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah (masing-masing satu buah mushaf), dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan Mushaf al-Imam.

Mushaf-mushaf al-Qur'an tersebut tidak berbaris dan tidak bertitik. Tetapi, karena telah mempergunakan dialek Qurisy, maka pada umumnya orang Quraisy dapat membacanya dan mengerti kandungannya. Namun, setelah masuknya orang-orang di luar Jazirah Arab ke dalam Islam, maka mulai timbul kesalahfahaman dalam membaca dan mengartikan al-Qur'an sehingga timbul usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan penulisannya dan penyeragaman bacaannya. Usaha itu dilakukan oleh Abu Aswad al-Dualy dengan membuat tanda baca yaitu memberi baris akhir kalimat dengan satu titik di atas (a), satu titik di bawah (i), satu titik samping (u), dan dua titik untuk tanda dua baris.

Usaha selanjutnya, dilakukan oleh Nashir bin Ashim dengan memberi titik pada huruf al-Qur'an; dan kemudian disempurnakan oleh al-Khalil bin Ahmad dengan memberi baris secara sempurna, yaitu huruf waw yang kecil di atas untuk tanda dhammah, huruf alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah, kepala huruf syin untuk tanda  syiddah, kepala huruf ha untuk sukun, dan kepala huruf 'ain untuk hamzah. Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, timbul usaha untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an, sehingga muncul terjemahan dan menafsirkan al-Qur'an menurut bidang ilmu; bahkan kini muncul pembahasan al-Qur'an menurut disiplin ilmu yang ada dengan mengumpulkan semua ayat yang ada hubungannya dengan disiplin ilmu tersebut. al-Qur'an pertama kali dicetak pada tahun 1644 di Hamburg (Jerman).

Dewasa     ini, al-Qur`an telah mampu menunjukkan kehebatannya serta keasliannya, dan mampu pula menjadikan dirinya sebagai pegangan dan rujukan pelbagai ilmu pengetahuan, berdasarkan adanya kesadaran manusia bahwa al-Qur'an adalah kitab Allah yang asli serta penuh dengan kandungan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu faktor yang dapat mendukung keaslian dan kehebatan al-Qur'an ialah perjanjian sejarah kodifikasi al-Qur'an yang sangat meyakinkan serta dukungan kemudahan penerimaan al-Qur'an dari generasi ke generasi serta penghafalan al-Qur'an dari zaman ke zaman yang berfungsi sebagai kontrol yang sangat meyakinkan terhadap keaslian al-Qur'an tersebut.

Di samping itu, faktor yang turut mendukung keaslian al-Qur'an adalah karena al-Qur'an mengandung sistem tasyrik yang sangat indah, yaitu (1) thabi`iyah (bersifat alami), (2) ma`qul (bersifat logis), (3) wawathan (bersifat tengah-tengah, tidak ekstrim), (4) dinamik tidak bersifat statis, yakni senantiasa mendorong ke arah kemajuan, (5) realistis tidak utopis,  yakni berdasarkan kenyataan, tidak menghayal dalam mengemukakan sesuatu.   

 

Minggu, 29 November 2020

Fungsi al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai berikut :

a.   Mu’jizat bagi rasul Allah Muhammad saw, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Isra (17) : 88,

قُلْ لَئِنْ اجْتَمَعَتْ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

      Q.S. Yunus (10) : 38.

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنْ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

      Mu’jizat yang didatangkan para Nabi dan Rasul Allah ada dua macam, yaitu hissy dan akly

                  Hissy ialah yang didapat dengan pandangan mata, seperti tongkat Nabi Musa, keluarnya air dari celah-celah jari Nabi Muhammad, dan sebagainya.

      Akly ialah yang didapatkan dengan mata hati, seperti mengambarkan berita baik, baik secara sindiran, maupun secara tegas dan menerangkan hakekat ilmu yang diperoleh dengan tidak dipelajari.

            Mu’jizat Nabi Muhammad yang bersifat hissy adalah : batu kerikil bertasbih di tanganya, berbicara dengan serigala, datang pohon kayu kepadanya, dan sebagainya. Sedangkan mu’jizat Nabi Muhammad yang bersifat akly adalah: al-Qur’an. Al-Qur’an itu suatu ayat hissiyah yang dapat dirasai pancaindera;  tetapi akliyah (bersifat akal), diam tidak berbicara, kekal sepanjang masa, berkembang di dalam dunia.

            Seluruh ayat al-Qur’an, baik dalam jumlah sedikit atau banyak adalah mu’jizat atau setiap ayat al-Qur’an memiliki  i’jaz segi balaghahnya yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Itulah sebabnya mu’jihad al-Qur’an telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang, dan (insya Allah) pada masa-masa yang akan datang.

Menurut Dr.Quraisy Shihab, M.A. ada tiga segi kemu’jizatan al-Qur’an, yaitu:

1).  Pemberitaan gaibnya, ini terbagi dua, 1) masa lampau dan 2) masa yang akan datang; masa yang akan datang ini juga terbagi dua, yaitu a) yang sudah terbukti dan b) yang belum terbukti.

2).  Isyarat-isyarat ilmiah yang menyangkut banyak hal, misalnya penciptaan alam semesta, reproduksi manusia, dan sebagainya.

3).  Dari segi bahasanya, baik balaghahnya maupun fashahahnya. Secara umum hal ini, sekarang sudah sulit dibuktikan.

Ketiga segi kemu’jizatan al-Qur’an tersebut tidak dapat dibuktikan tanpa mengaitkan dengan pribadi Nabi Muhammad.

            Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dnegan pemberitaan gaib masa lampau (sejarah) seperti tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba, Tsamud, Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-lain, dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia.

            Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pemberitaan gaib masa yang akan datang (ramalan-ramalan) dan sudah terbukti atau dibuktikan oleh sejarah seperti tentang runtuhnya bangsa Rumawi (Q.S.al-Rum (30) : 2,3,4.

غُلِبَتْ الرُّومُ(2)فِي أَدْنَى اْلأََرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ(3)فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ اْلأََمْرُ مِنْ

قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ(4)

berpecah belahnya Kristen (Q.S. al-Maidah (5) : 14

وَمِنْ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمْ

الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمْ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

juga menjadi bukti kepada kita bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt.

Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dnegan ilmu pengetahuan dapat menyakinkan kita bahwa al-Qur’an adalah firman-firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apabila ciptaan Nabi Muhammad yang ummi (Q.S. al-A’raf (7) : 158,

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ واْلأََرْضِ لاَ إِلَهَ اِلاَّ هُوَ

يُحْيِ وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ

تَهْتَدُونَ

yang hidup pada awal abad keenam Masehi.

            Bahasa al-Qur’an yang sangat indah dan susunan katanya yang rapi, tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya. Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti merupakan ciri dari gaya bahasa al-Qur’an.

            Karena gaya bahasa yang demikian itulah, maka Umar bin Khattab masuk Islam setelah mendengar al-Qur’an awal surah Thaha yang dibicara oleh adiknya Fatimah, Abul Walid, diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surah Fushshilat yang dikemukakan Rasul Allah Muhammad saw. sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan diplomasinya. Bahkan Abu Jahal musuh besar Nabi karena mendengar surah al-Dhuha yang dibaca Nabi.

            Tepat apa yang dinyatakan al-Qur’an, bahwa seseorang tidak menerima kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah disebabkan oleh salah satu dari dua sebab, yaitu :

1).  Tidak berfikir dengan jujur dan sungguh-sungguh. Hal ini disebut al-maghdhub (dimurkai Tuhan) karena tahu kebenaran, tetapi tidak mau menerima kebenaran itu.

2).  Tidak sempat mendengar dan mengetahui al-Qur’an secara baik. Hal ini disebut al-Dhallin (orang sesat) karena tidak menemukan kebenaran itu.

            Sebagai jaminan bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah, maka al-Qur’an sendiri     menantang setiap manusia untuk membuat satu surah saja yang senilai dengan al-Qur’an (lihat Surah al-Baqarah (2) : 23,24).

b.   Pedoman hidup bagi setiap manusia, khususnya yang sudah muslim, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Ba qarah (2): 185 dan Q.S. al-Nisa (4): 105 al-Maidah (5) : 49, 50 al-Jatsiyah (45) : 20.

            Sebagai pedoman hidup, al-Qur`an banyak mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia, dan manusia dengan alam yang lain. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti: beribadah langsung kepada Tuhan, kewarisan, pendidikan dan pengajaran, kepemimpinan, berperang, pidana, dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu, sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-A`raf (7): 158; al-Anbiya (21): 107; Saba (35) : 28.

            Setiap muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut dalam kehidupannya, sesuai Q.s. al-Baqarah (2): 208; al-An`am  (6): 153; al-Taubah (9): 51.

Sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu dipandang oleh al-Qur`an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa, sesuai Q.s. al-Ahzab (33): 36; al-Baqarah (2): 265. Melaksanakannya dinilai ibadah, sesuai Q.s. al-Nisa (4): 69; al-Ahzab (33): 71; al-Nur (24): 52; memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci, sesuai Q.s. al-Taubah (9): 41; al-Shaf (61): 10-13; mati karenanya dinilai sebagai mati syahid, sesuai Q.s. Ali Imran (3): 157; 169; hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian (3): 195; dan tidak mau melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasik, dan kafir, sesuai Q.s. al-Maidah (5): 44, 45, 47.  

c.   Sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya, sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-Maidah (5): 48, 15; al-Nahl (16): 64, dan bernilai abadi.

            Sebagai korektor, al-Qur`an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang dinilai oleh al-Qur`an tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip ketuhanan, dan sebagainya. Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan al-Qur`an antara lain sebagai berikut:

1).  Tentang ajaran Trinitas, tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5): 75.

2).  Tentang Isa, tercantum dalam Q.S. Ali Imran (3): 49, 59; al-Maidah (5): 72.

3).  Tentang penyaliban Isa, tercantum dalam Q.S. al-Nisa (4): 157, 158.

4).  Tentang ajaran Sulaiman, tercantum dalam Q.s. al-Baqarah (2): 102.

5).  Tentang ajaran Harun, tercantum dalam Q.s. Thaha (20): 90-94, dan lain-lain.

d.   Sarana peribadatan

     Al-Qur`an merupakan sarana peribadatan yang sangat tinggi nilainya, karena dengan membaca al-Qur`an saja Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda, apalagi kalau mengamalkan kandungannya.

Mengenai pahala orang yang membaca dan mendengarkan al-Qur`an dinyatakan oleh Allah dalam Q.S. al-A`raf (7): 204, yang artinya: Dan apabila dibacakan al-Qur`an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat.

Al-Qur`an adalah bacaan yang paling baik bagi orang yang beriman, karena di samping mendapat pahala yang berlipat ganda, juga dapat menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.

Ibnu Mas`ud berkata: Jika jiwamu gelisah, maka bawalah hatimu ke tiga tempat, yaitu: 1) ke tempat orang yang membaca al-Qur`an, engkau baca al-Qur`an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya; 2) engkau pergi ke majelis pengajian yang mengingatkan hatimu ke pada Allah; dan 3) engkau cari waktu atau tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah; umpamanya di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam minta kepada Allah ketenangan jiwa, ketenteraman fikiran dan kemurnian hati; seandainya jiwamu belum juga diberi hati yang lain, sebab hati yang engkau pakai itu, bukan hatimu lagi.

c.   Penyempurnaan kitab-kitab Allah terdahulu

Kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an, tidak berlaku universal, hanya sesuai dengan masa dan tempat di mana kitab-kitab itu diturunkan. Karena itu, al-Qur`an datang untuk menyempurnakan, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Maidah (5): 3, yang artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu  dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuredhai Islam jadi agamamu.

Berdasarkan penegasan al-Qur`an tersebut, ditambah dengan kenyataan obyektif dari kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an yang sudah diinterpolasi oleh manusia, maka kita tidak boleh lagi beriman kepada apa yang dinamakan kitab Zabur, Taurat dan Injil yang ada di permukaan bumi kita dewasa ini.

Iman kepada kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an itu, hanya berarti kitab wajib percaya bahwa sebelum al-Qur`an Allah telah pernah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi dan Rasul-Nya; tidak mengharuskan kita untuk mengikuti ajarannya, sebab ia telah mansukh (terhapus) dan digantikan oleh ajaran al-Qur`an. Dengan demikian; al-Qur`anlah satu-satunya kitab suci yang wajib kita imani dan kita ikuti ajarannya sebagai jalan keselamatan yang sesungguhnya.

(dari berbagai sumber)

Sabtu, 01 Agustus 2020

Tugas Pokok Agama Islam

Ada beberapa tugas pokok agama Islam:
  1. Mendatangkan perdamaian di dunia, dengan membentuk persaudaraan di antara sekalian agama di dunia.
  2. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang sudah-sudah.
  3. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama sebelumnya, menyaring mana yang benar dan meluruskan mana yang palsu.
  4. Mengajarkan kebenaran abadi, yang sebelumnya tidak pernah diajarkan, berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu itu masih dalam tahap permulaan dari tingkat perkembangan mereka.
  5. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia yang selalu bergerak maju.
  6.  

Jumat, 01 Mei 2020

Kebutuhan Manusia terhadap Agama

Mengapa manusia butuh agama? adalah suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Namun, kita melihat potensi-potensi yang dimiliki manusia, maka kita akan menemukan beberapa jawaban terhadp pertanyaan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :

1.   Manusia sebagai makhluk Allah memiliki banyak kelebihan dibanding dengan makhluk yang yang lain; tetapi dibalik kelebihan yang banyak itu, manusia  juga tidak luput dari banyak kekurangan, kelemahan dan kemampuan yang terbatas. Manusia terbatas pada alam sekitarnya, warisan keturunan dan latar belakang kebudayannya/hidupnya,; yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan dalam menghadapi suatu masalah, bahkan seringkali bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

      Pandangan yang simpang siur tersebut (subyektif) tidak akan dapat menimbulkan keyakinan atas kebenaran, tetapi senantiasa diliputi oleh kabut keragu-raguan (dzanny), sehingga manusia senantiasa gagal dalam menentukan kebenaran secara mutlak, ia tidak sanggup menentukan kebaikan dan keburukan (haq dan batil), ia tidak dapat menentukan nilai-nilai semua hal yang demikian itu adalah di luar bidang ilmu pengetahuan manusia.

      Untuk mengatasi ataupun memberikan solusi terhadap kegagalan manusia sebagai akibat dari kelemahannya, itu maka diperlukan agama/wahyu yang berasal dari luar manusia, yakni Allah swt. melalui para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini dapat terjadi karena Allah swt. adalah Maha Sempurna, sehingga wahyu yang diturunkan-Nya merupakan kebenaran mutlak dan bersifat universal yang tak perlu diragukan lagi, sebagaimana  firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2) : 147

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنْ الْمُمْتَرِينَ

Kebenaran itu adalah berasal dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu meragukannya.

 

2.   Dalam diri manusia terhadap hawa nafsu, yang senantiasa mengajak manusia kepada kejahatan, apalagi kalau hawa nafsu tersebut sudah dipengaruhi oleh syaitan/iblis yang senantiasa menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Jika manusia dapat mengalahkan pengaruh hawa nafsu dan syaitan tersebut, maka ia akan lebih tinggi derajatnya daripada malaikat; tetapi, jika ia mengikuti ajakan hawa nafsunya dan syaitan tersebut, maka ia akan turun derajatnya lebih rendah daripada binatang.

    Untuk mengatasi pengaruh hawa nafsu dan syaitan itu, manusia harus memakai senjata agama (iman), karena hanya agama (imanlah) yang dapat mengatasi dan mengendalikan hawa nafsu dan syaitan/iblis itu; sebab agama merupakan sumber moral dan akhlak dalam Islam. Itulah sebabnya, missi utama manusia, sebagaimana hadits beliau yang menyatakan: Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

     Melawan hawa nafsu dan syaitan adalah jihad akbar, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw. sewaktu kembali dari perang Badar: Kita kembali dari jihad (perang) yang paling kecil menuju jihad yang paling besar, para sahabat bertanya: adakah perang yang lebih besar dari perang ini ya Rasulullah? Nabi menjawaab : ada, yakni melawan hawa nafsu.

      Di samping itu, ada hadits lain yang mengatakan: Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya semata-mata mengikuti agama Islam yang kaubawa.

3.   Manusia dengan akalnya semata, tidak mampu mengetahui alam metafisika, alam akhirat yang merupakan alam gaib, dan berada di luar jangkauan  akal manusia, sebagaimana firmana Allah dalam Q.S. al-Nahl (27) : 65,

وَاللَّهُ أَنزَلَ مِنْ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

     

     Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya, bahwa akal manusia mempunyai batas-batas kemampuan tertentu, sehingga tidak boleh melampaui batas dan wewenangnya. Oleh karena itu, banyak masalah yang tidak mampu dipecahkan oleh akal manusia, terutama masalah alam gaib; dan di sinilah perlunya agama/wahyu untuk meberikan jawaban terhadap segala masalah gaib yang berada di luar jangkauan akal manusia. Di sinilah letak kebutuhan manusia untuk mendapat bimbingan agama/wahyu, sehingga mampu mengatasi segala persoalan hidupnya dengan baik dan menyakinkan.

4.   Para sainstis yang terlalu mendewakan ilmu pengetahuan -- khususnya di Barat telah banyak yang kehilangan idealisme sebagai tujuan hidupnya. Mereka dihinggapi penyakit risau gelisah, hidupnya hambar dan hampa, karena dengan pengetahuan semata, mereka tidak mampu memenuhi hajat hidupnya; sebab dengan bekal ilmu pengetahuannya itu, tempat  berpijaknya makin kabur, karena kebenaran yang diperolehnya relatif dan temporer, sehingga rohaninya makin gersang, sebagaimana bumi ditimpa kemarau, sehingga membutuhkan siraman yang dapat menyejukkan. Di sinilah perlunya agama untuk memenuhi hajat rohani manusia, agar ia tidak risau dan gelisah dalam menghadapi segala persoalan hidup ini.

5.   Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Namun, dibalik semuanya itu, kemajuan ilmu pengetahuann dan tekhnologi pula yang banyak menimbulkan kecemasan dan ancaman keselamatan bagi umat manusia. Berbagai konflik yang maha dahsyat terjadi diberbagai belahan dunia dewasa ini merupakan dampak negatif dari pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu, dengan ilmu dan tekhnologi, manusia memproduksi senjata, namun dengan senjata itu pula manusia  banyak menjadi korban. Di sinilah perlunya agama, karena hanya agama (iman) lah   yang dapat mencegah agar ilmu dan tekhnologi tersebut tidak berubah menjadi senjata makan tuan/pagar makan tanaman. Agamalah yang mampu menjinakkan hati manusia  yang sesat, untuk berbuat baik kepada diri sendiri dan kepada orang lain.

            Jadi, ilmu dan agama harus bergandengan tangan, akal dan wahyu mesti sejalan, keduanya merupakan anugerah Allah untuk manusia  karena itu Nabi saw. menyatakan : bahwa ilmu itu adalah jiwa dan tiangnya agama Islam.

Barang siapa menghendaki dunia, maka hendaklah ia berilmu pengetahuan, dan barang siapa menghendaki akhirat, maka hendaklah ia berilmu pengetahuan, dan barang siapa menghendaki keduanya maka hendaklah ia berilmu pengetahuan.

Hadis tersebut terlihat betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan agama itu untuk kehidupan manusia; karena itu Allah berjanji untuk mengangkat derajat orang – orang yang beriman dan sekaligus berilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mujadalah (38) : 11:

... يَرْفَعْ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ...

Terjemahnya :

Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat ……

            Dalam surah Fathir (35) : 28, ditegaskan oleh Allah bahwa : hanya saja yang akan takut kepada Allah di antara hambanya ialah hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan.

 Karena itu, agama dan ilmu pengetahuan merupakan  kebutuhan primer setiap manusia. Ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan intelek /akal manusia, sedang agama untuk memenuhi kebutuhan jiwa /hati  manusia. Jika kebutuhan akal dan jiwa itu terpenuhi secara seimbang, maka akan terwujudlah  manusia yang utuh, yaitu manusia yang mempunyai keseimbangan antara kepentingan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, sebagaimana tercantum dalam tujuan dan hakekat pembangunan Nasional Indonesia.

(dari berbagai sumber)