Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 September 2024

Pembaharuan Kaidah Fikih di Era Modern

Pembaharuan kaidah fikih dalam konteks modern merupakan langkah penting untuk menyesuaikan hukum Islam dengan tantangan dan dinamika zaman yang terus berubah. Fikih, sebagai ilmu yang mengatur kehidupan umat Islam, harus mampu merespons perkembangan sosial, ekonomi, teknologi, dan budaya yang semakin kompleks, tanpa mengesampingkan nilai-nilai dasar agama. Urgensi pembaharuan ini muncul karena banyak aspek kehidupan modern, seperti perkembangan teknologi, transaksi digital, hubungan internasional, serta perubahan sistem sosial-ekonomi, tidak secara eksplisit dibahas dalam sumber-sumber hukum Islam klasik seperti Al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, pembaruan kaidah fikih sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahan kontemporer seperti hukum asuransi, bioteknologi, hingga isu-isu lingkungan.

Pembaharuan kaidah fikih harus tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar syariah, yakni menjaga lima hal utama (Maqashid al-Shariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Prinsip-prinsip seperti ijtihad, maslahah (kemanfaatan umum), istihsan (preferensi hukum), dan 'urf (kebiasaan) dapat menjadi landasan dalam menyesuaikan hukum Islam dengan konteks modern. Ijtihad memberikan ruang bagi ulama untuk melakukan interpretasi hukum baru yang relevan dengan situasi zaman, sementara maslahah memungkinkan penetapan hukum yang mendukung kemaslahatan publik, seperti kebijakan dalam kesehatan dan ekonomi. Prinsip istihsan memberikan kelonggaran hukum selama tidak bertentangan dengan syariah, yang relevan dalam isu-isu ekonomi kontemporer seperti penggunaan instrumen keuangan modern. Sedangkan, 'urf memungkinkan kebiasaan masyarakat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum, termasuk adat yang berkembang di era globalisasi.

Penerapan kaidah fikih modern dapat dilihat dalam dunia perbankan syariah, di mana instrumen-instrumen keuangan seperti mudharabah, musyarakah, dan sukuk diadaptasi dari kaidah muamalah klasik untuk memenuhi kebutuhan transaksi kontemporer tanpa riba. Asuransi syariah atau takaful juga merupakan pembaharuan kaidah fikih, dengan menggunakan prinsip tolong-menolong dan kerjasama sebagai dasar pembentukannya. Di bidang hukum lingkungan, kaidah seperti la dharar wa la dhirar" (tidak boleh membahayakan atau dirugikan) digunakan untuk mendukung kebijakan perlindungan lingkungan, seperti larangan membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem.

Meski penting, pembaharuan kaidah fikih juga menghadapi tantangan, seperti perbedaan pandangan antar mazhab dan resistensi dari kalangan yang menganggap perubahan ini sebagai bentuk liberalisasi hukum Islam. Namun, dengan pendekatan yang bijaksana dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah, pembaharuan ini dapat memperkuat relevansi hukum Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern, menjadikannya lebih dinamis dan adaptif tanpa kehilangan esensinya.

Selasa, 17 September 2024

Urgensi Thaharah dan Jenis-jenisnya

Thaharah adalah syarat utama dalam shalat, yang menempati posisi penting dan harus didahulukan sebelum menjalankan kewajiban tersebut. Thaharah dibagi menjadi dua jenis:

Pertama: Thaharah maknawi, yaitu kesucian hati dari syirik, maksiat, dan segala hal yang mengotorinya. Kesucian ini lebih penting dibandingkan dengan kesucian fisik, karena kesucian fisik tidak mungkin terwujud jika masih terdapat najis berupa syirik. Allah berfirman: إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis." (QS. At-Taubah: 28)

Kedua: Thaharah indrawi, yaitu kesucian yang berkaitan dengan fisik.

Definisi Thaharah: Secara bahasa berarti bersih dan suci dari segala kotoran. Dalam istilah, thaharah bermakna menghilangkan hadats dan membersihkan khabats.

Menghilangkan hadats artinya menghapuskan halangan yang mencegah seseorang melakukan shalat dengan menggunakan air. Jika hadats besar, seluruh tubuh harus disucikan dengan air. Sedangkan jika hadats kecil, cukup dengan berwudhu. Jika tidak ada air atau seseorang tidak mampu menggunakannya, tayamum dapat dilakukan sebagai penggantinya. Penjelasan lebih lanjut mengenai tayamum akan dibahas pada bab tayamum.

Melenyapkan khabats artinya menghilangkan najis dari tubuh, pakaian, dan tempat shalat.

Thaharah indrawi terdiri dari dua bagian: yang pertama adalah bersuci dari hadats, yang berkaitan dengan tubuh. Kedua adalah bersuci dari khabats (najis), yang meliputi tubuh, pakaian, dan tempat shalat.

Hadats dibagi menjadi dua jenis: hadats kecil, yang memerlukan wudhu, dan hadats besar, yang memerlukan mandi. Khabats atau najis terdiri dari tiga kategori: najis yang harus dicuci, najis yang cukup diperciki air, dan najis yang diusap.

Air yang Layak untuk Thaharah

Thaharah memerlukan sarana, yaitu air, untuk menghilangkan najis dan hadats. Air yang layak untuk bersuci disebut al-Ma` ath-Thahur, yaitu air yang suci dan dapat menyucikan. Air ini adalah air murni yang belum tercampur dengan unsur lain, seperti air hujan, salju, embun, atau air yang mengalir dari sungai, mata air, sumur, dan laut.

Hal ini sesuai dengan firman Allah: وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ "Dan Allah menurunkan bagi kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengannya." (QS. Al-Anfal: 11)

Dan firman-Nya: وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci." (QS. Al-Furqan: 48)

Rasulullah juga bersabda: اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ "Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju, dan embun."

Dalam hadits lain, Rasulullah menyatakan bahwa air laut itu suci dan bangkainya halal: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ "Laut itu suci airnya dan bangkainya halal."

Thaharah tidak dapat dilakukan dengan cairan selain air, seperti cuka, bensin, jus, atau air jeruk, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا "...jika kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik." (QS. Al-Ma'idah: 6)

Seandainya thaharah bisa dilakukan dengan cairan lain selain air, tentunya Allah akan mengarahkan kita kepada cairan tersebut, bukan kepada tanah (tayamum).

Kamis, 01 Agustus 2024

Pengertian fiqh, syari'ah dan ushul fiqh

Kata fiqh secara bahasa Fikih (اَلْفِقْهُ) berarti pemahaman. Termasuk dalam makna ini Firman Allah tentang kaum syu'aib (QS. Hud: 91)

مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ

Adapun fiqh menurut istilah adalah “ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliah yang tergali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian dapat dipahami  bahwa fiqh bukanlah hukum syar'i itu sendiri, tetapi interprestasi terhadap hukum syar'i.

Syari’ah adalah titah allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan (untuk melaksanakan atau meningggalkan), pilihan, maupun berupa wadh'i (syarat, sebab, halangan, sah, batal, dan rukhshah)”.

Ushul fiqh yang secra bahasa berarti dasar-dasar fiqh. Sedangkan menurut istilah, usul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk mengistinbathkan (menggali/mengeluarkan) hokum islam dari dalil-dalilnya yang terinci. Hal-hal yang di bicarakan dalam ushul fiqh adalah kaidah-kaidah fiqhiyyah, kaida-kaidah ushuliyyah, kaidah-kaidah bahasa, dan metode-metode dalam berijtihad.

 Sumber-sumber fikih yang pokok

1.      al-Qur'an

2.      Hadis

3.      Ijma

4.      Qiyas

Pembagian fiqh

Bila ditinjau dari lapangan hukumnya maka fiqh dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.      Fiqh ibadah yaitu perbuatan dan perkataan para mukallaf yang berhubungan langsung dengan allah SWT. Hal yang dibahas dala fiqh ibadah adalah masalah-masalah thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2.      Fiqh mu'amalat yaitu perkataan dan perbuatan para mukallaf yang berkaitan dengan sesamanya. Lingkup pembahasan fiqh mu'amalat sekitar masalah bisnis dan jual beli, masalah perkawinan dan perceraian, waris, peradilan, hukum pidana, maslah kenegaraan, dan hubungan internasional.

Sumber dan dasar hukum Islam

Sesungguhnya sumber hokum islam hanya ada dua yakni al-Qur’an dan al-sunnah. Segala persoalan yang muncul harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Dalam hal ini, al-Qur'an merupakan rujukan utama, sedangkan al-sunnah al-maqbulah yang diceritakan melalui hadis Nabi Saw adalah sumber hokum kedua yang berfungsi sebagai penjelas kehendak Allah dalam al-Qur’an.

Tujuan hukum Islam

Semua hukum yang disyar'i atau diundangkan oleh Allah SWT mesti memiliki tujuan. Tujuan ini dalam istilah ilmu fiqh dikenal dengan istilah tujuan persyari'atan atau biasa juga disebut dengan tujuan hukum Islam. Tujuan disyariatkannya hokum dalam islam adalah untuk meralisir kemashlahatan manusia dan sekaligus menghindarkan kemadharatan.

Asas-asas hukum Islam

Ada lima asas hukum Islam yang dijadikan sebagai prinsip dasar pensyari’atan atau penetapan hokum islam, yaitu:

1.      Meniadakan kesempitan

2.      Menyedikitkan beban

3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum bagaimana pun juga, masyarakat arab pada waktu itu telah mempunyai kebudayaan dan tradisi jahiliyah yang sudah mengakar kuat.

4.      Sejalan dengan kemashlatan manusia sesungguhnya hukum atau syari’at Islam ditetapkan oleh Allah SWT tidak kecuali hanya untuk kemashlahatan (kebaikan) umat manusia semata.

5.      Mewujudkan keadilan yang merata.

Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah

Kaidah fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang dirumuskan oleh fiqh yang bersumber dari syari’at dengan didasarkan pada asas dan tujuan persyari’atan. Tujuan persyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.