Sabtu, 03 Agustus 2024

Takdir dalam Bahasa Al-Quran

Kata takdir (qadr) terambil dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah memakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat Al-A'la (Sabihisma),

سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلۡأَعۡلَ، ٱلَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ، وَٱلَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua makhluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkannya(nya) (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

وَٱلشَّمۡسُ تَجۡرِي لِمُسۡتَقَرّٖ لَّهَاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ

Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui (QS Yâ Sîn [36]: 38).

Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat tersebut:

وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِيمِ

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua" (QS Yā Sīn [36]: 39).

"Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan atasnya.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

"Dia (Allah) yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumbernya); dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan.\

وَالَّذِيْٓ اَخْرَجَ الْمَرْعٰىۙ ٤ فَجَعَلَهٗ غُثَآءً اَحْوٰىۗ ٥

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS Sabihisma [87]: 4-5).

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]: 3).

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan hukum, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimak dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut hukum-hukum alam.

Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran sunnatullah terulang sebanyak delapan kali, sunnatullah awwalin terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau Fathir 35: 43, atau Ghafir 40: 85, dan lain-lain.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,

إِتْيَا طَوْعًا أَوْكَرْهًا قَالَتَاۤ اَتَيْنَا طَۤىٕعِيْنَ

"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengan penuh ketaatan."

Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya.

Sumber: M. Quraisj Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhui atas pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, h. 61-63

Jumat, 02 Agustus 2024

Agama pada Masyarakat Industri

Pada era masyarakat industri, agama memainkan peran yang kompleks dan beragam. Di satu sisi, industrialisasi membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial dan ekonomi, yang seringkali mengakibatkan perubahan dalam praktik dan pandangan keagamaan. Sebagai contoh, migrasi massal ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan menyebabkan pergeseran dari komunitas pedesaan yang homogen ke lingkungan perkotaan yang lebih heterogen. Di lingkungan baru ini, interaksi antaragama menjadi lebih intens dan sering, yang dapat memicu konflik sekaligus memperkaya dialog antarbudaya dan antariman.

Agama sering kali berperan sebagai penyeimbang dalam menghadapi tekanan-tekanan industrialisasi. Ketidakpastian ekonomi dan perubahan sosial yang cepat dapat menciptakan ketidakstabilan emosional dan spiritual bagi individu. Dalam konteks ini, agama memberikan dukungan moral dan psikologis yang diperlukan. Tempat ibadah, seperti gereja, masjid, dan kuil, menjadi pusat komunitas di mana individu dapat mencari kenyamanan, solidaritas, dan bimbingan. Nilai-nilai agama, seperti keadilan sosial, etika kerja, dan solidaritas, sering kali menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan hidup di masyarakat industri.

Namun demikian, agama juga menghadapi tantangan di masyarakat industri. Sekularisasi, yang seringkali menjadi bagian dari proses modernisasi dan industrialisasi, dapat menyebabkan penurunan pengaruh agama dalam kehidupan publik. Di banyak negara industri, ada tren menuju pengurangan partisipasi dalam praktik keagamaan formal dan peningkatan skeptisisme terhadap otoritas religius. Fenomena ini dapat dilihat sebagai respons terhadap rasionalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, yang menawarkan penjelasan alternatif terhadap realitas.

Meskipun begitu, agama juga menunjukkan adaptabilitas yang luar biasa. Banyak organisasi keagamaan yang berhasil memanfaatkan teknologi dan media modern untuk menyebarkan pesan mereka dan menjangkau audiens yang lebih luas. Penggunaan internet, media sosial, dan platform digital lainnya memungkinkan agama untuk tetap relevan dan berpengaruh di era digital. Inovasi-inovasi ini juga memungkinkan agama untuk menjawab kebutuhan spiritual masyarakat industri yang semakin kompleks dan beragam.

Secara keseluruhan, peran agama dalam masyarakat industri adalah refleksi dari dinamika interaksi antara tradisi dan modernitas. Sementara industrialisasi membawa perubahan mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi, agama terus berperan sebagai kekuatan yang menghubungkan individu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang lebih tinggi. Dengan demikian, agama tetap menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat industri, baik sebagai sumber makna pribadi maupun sebagai agen perubahan sosial yang positif.

Kamis, 01 Agustus 2024

Pengertian fiqh, syari'ah dan ushul fiqh

Kata fiqh secara bahasa Fikih (اَلْفِقْهُ) berarti pemahaman. Termasuk dalam makna ini Firman Allah tentang kaum syu'aib (QS. Hud: 91)

مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ

Adapun fiqh menurut istilah adalah “ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliah yang tergali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian dapat dipahami  bahwa fiqh bukanlah hukum syar'i itu sendiri, tetapi interprestasi terhadap hukum syar'i.

Syari’ah adalah titah allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan (untuk melaksanakan atau meningggalkan), pilihan, maupun berupa wadh'i (syarat, sebab, halangan, sah, batal, dan rukhshah)”.

Ushul fiqh yang secra bahasa berarti dasar-dasar fiqh. Sedangkan menurut istilah, usul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk mengistinbathkan (menggali/mengeluarkan) hokum islam dari dalil-dalilnya yang terinci. Hal-hal yang di bicarakan dalam ushul fiqh adalah kaidah-kaidah fiqhiyyah, kaida-kaidah ushuliyyah, kaidah-kaidah bahasa, dan metode-metode dalam berijtihad.

 Sumber-sumber fikih yang pokok

1.      al-Qur'an

2.      Hadis

3.      Ijma

4.      Qiyas

Pembagian fiqh

Bila ditinjau dari lapangan hukumnya maka fiqh dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.      Fiqh ibadah yaitu perbuatan dan perkataan para mukallaf yang berhubungan langsung dengan allah SWT. Hal yang dibahas dala fiqh ibadah adalah masalah-masalah thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.

2.      Fiqh mu'amalat yaitu perkataan dan perbuatan para mukallaf yang berkaitan dengan sesamanya. Lingkup pembahasan fiqh mu'amalat sekitar masalah bisnis dan jual beli, masalah perkawinan dan perceraian, waris, peradilan, hukum pidana, maslah kenegaraan, dan hubungan internasional.

Sumber dan dasar hukum Islam

Sesungguhnya sumber hokum islam hanya ada dua yakni al-Qur’an dan al-sunnah. Segala persoalan yang muncul harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Dalam hal ini, al-Qur'an merupakan rujukan utama, sedangkan al-sunnah al-maqbulah yang diceritakan melalui hadis Nabi Saw adalah sumber hokum kedua yang berfungsi sebagai penjelas kehendak Allah dalam al-Qur’an.

Tujuan hukum Islam

Semua hukum yang disyar'i atau diundangkan oleh Allah SWT mesti memiliki tujuan. Tujuan ini dalam istilah ilmu fiqh dikenal dengan istilah tujuan persyari'atan atau biasa juga disebut dengan tujuan hukum Islam. Tujuan disyariatkannya hokum dalam islam adalah untuk meralisir kemashlahatan manusia dan sekaligus menghindarkan kemadharatan.

Asas-asas hukum Islam

Ada lima asas hukum Islam yang dijadikan sebagai prinsip dasar pensyari’atan atau penetapan hokum islam, yaitu:

1.      Meniadakan kesempitan

2.      Menyedikitkan beban

3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum bagaimana pun juga, masyarakat arab pada waktu itu telah mempunyai kebudayaan dan tradisi jahiliyah yang sudah mengakar kuat.

4.      Sejalan dengan kemashlatan manusia sesungguhnya hukum atau syari’at Islam ditetapkan oleh Allah SWT tidak kecuali hanya untuk kemashlahatan (kebaikan) umat manusia semata.

5.      Mewujudkan keadilan yang merata.

Kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah

Kaidah fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang dirumuskan oleh fiqh yang bersumber dari syari’at dengan didasarkan pada asas dan tujuan persyari’atan. Tujuan persyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.

Rabu, 31 Juli 2024

Budaya Sipatabe atau Budaya Tabe

Budaya tabe adalah salah satu wujud sikap sopan santun dan saling menghargai antar sesama yang masih kental di masyarakat. Budaya ini mengajarkan nilai-nilai luhur yang mencerminkan kepribadian yang baik dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam budaya tabe, terdapat tiga nilai utama yaitu sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge. Sipakatau berarti tidak membeda-bedakan satu sama lain, memberikan perlakuan yang setara kepada semua orang tanpa memandang status atau latar belakang. Sipakalebbi adalah sikap saling menghormati, mengakui keberadaan dan kontribusi orang lain dengan tulus. Sedangkan sipakainge menekankan pentingnya saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebijaksanaan.

Pelaksanaan budaya tabe dapat dilihat dalam tindakan-tindakan sederhana namun penuh makna dalam interaksi sehari-hari. Salah satunya adalah dengan memberikan senyuman kepada orang yang ingin disapa sambil sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Senyuman ini bukan hanya sekadar ekspresi wajah, tetapi juga simbol kehangatan dan keterbukaan yang mengundang rasa nyaman bagi orang yang disapa. Selain itu, dalam situasi tertentu, ketika ingin melewati seseorang, ungkapan "tabe" atau "permisi" diucapkan sambil membungkuk setengah badan. Gerakan ini mencerminkan rasa hormat dan penghargaan kepada orang yang dilewati, serta kesadaran akan pentingnya menjaga etika dalam berinteraksi.

Budaya tabe tidak hanya berlaku dalam konteks interaksi sosial, tetapi juga memiliki dampak positif dalam membangun hubungan yang harmonis dan penuh kedamaian di masyarakat. Dengan menerapkan nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge, individu diajarkan untuk selalu bersikap adil, menghormati, dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Nilai-nilai ini menjadi dasar kuat dalam menciptakan lingkungan yang saling mendukung dan menghargai, di mana setiap orang merasa diterima dan dihargai. Budaya tabe menjadi fondasi yang kokoh dalam menjaga keutuhan dan kerukunan di tengah perbedaan yang ada.

Secara keseluruhan, budaya tabe adalah cerminan dari kearifan lokal yang perlu terus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya relevan untuk menjaga hubungan baik antar individu, tetapi juga penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Dengan memahami dan mengamalkan budaya tabe, kita turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang saling menghargai, menghormati, dan mengingatkan dalam kebaikan. Hal ini akan membawa dampak positif bagi perkembangan sosial dan kemajuan bersama dalam berbagai aspek kehidupan.