Selasa, 08 Desember 2020

Sejarah Singkat Perkembangan al-Hadis

 Para muhadditsin membagi perkembangan hadis itu kepada tujuh periode, yaitu:

a.   Periode wahyu dan pembentukan hukum (masa Nabi: 13 SH 10 H).

Pada periode ini, Nabi melarang menulis hadis secara umum, karena dikhawatirkan terjadinya percampuran antara al-Qur'an dengan hadis (pendapat umum). Menurut Dr. Quraisy Shihab, M.A., larangan tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas dan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menulis, serta kurangnya sahabat yang dapat menulis. Nabi hanya memperkenankan menulis hadis secara pribadi bagi Abdullah Ibn Amr Ibn Hazm.

b.   Periode pembatasan riwayat (masa al-Khulafa al-rasyidin : 11 – 40 H).

Pembatasan riwayat (kisah israiliyat) dilakukan oleh para sahabat Nabi waktu itu, guna mencegah kemungkinan timbulnya hadis palsu, sedangkan perhatian mereka difokuskan kepada kodifikasi al-Qur'an.

c.   Periode pencarian hadis (masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41-akhir abad I H).

Pada masa ini ekspansi kekuasaan Islam sangat meluas, sehingga umat Islam banyak menghadapi persoalan baru yang belum tegas dalam al-Qur'an, karena itu hadis Nabi sangat dibutuhkan untuk mendampingi al-Qur'an, maka sahabat-sahabat muda berupaya untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi sebagai langkah awal kodifikasi hadis pada periode berikutnya.

d.   Periode kodifikasi atau pembukuan hadis (permulaan abad II H).

Hadis-hadis yang berhasil dikumpulkan pada periode sebelumnya, kemudian dikodifikasi pada periode ini atas inisiatif  Umar Ibn  Abd al-Azi, khalifah yang kedelapan dari Dinasti Umayyah.

e.   Periode penyaringan dan seleksi hadis (awal abad III H sampai selesai)

Masa ini merupakan masa keemasan dari perkembangan hadis Nabi, karena pada masa inilah munculnya berbagai disiplin ilmu hadis, dan munculnya hadis-hadis Nabi yang dapat dijadikan hujjah (dalil) serta hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagai hasil ijtihad dari pada ulama hadis. Berbagai kitab hadis telah berhasil disusun oleh ulama selektor hadis pada masa ini, misalnya: kitab al-shahihain, rawah al-khamsah, kutub al-sittah dan  rawah al-sab`ah, dan seba-gainya.

f.    Periode penyusunan kitab-kitab koleksi hadis (awal abad IV H sampai jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H atau 1258 M.)

g.   Periode pembuatan kitab syarah dan takhrij hadis serta penyusunan kitab-kitab koleksi hadis yang lebih umum, yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis dan fiqh sesudah jatuhnya Bagdad (656 H) sampai masa renaissance dalam pemikiran ajaran Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang ini.

Senin, 07 Desember 2020

Perbedaan al-Qur`an dan Hadis sebagai Sumber Hukum

Walaupun al-Qur'an dan hadis sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut:

a.  Al-Qur'an adalah qath'i (mutlak) nilai kebenarannya, sedangkan hadis adalah dhanni (relatif), kecuali hadis mutawatir.

b.   Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, sedangkan hadis tidak seluruhnya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup; karena di samping ada hadis yang tasyri ada juga hadis yang ghairu tasyri, di samping ada hadis yang shahih ada pula hadis yang dha`if dan seterusnya.

c.   Al-Qur'an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya, sedangkan hadis tidak.

d.  Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang gaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi, tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadis.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, maka penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur'an hendaknya didasarkan atas keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaannya terhadap hadis harus didasarkan atas keragu-raguan (dugaan-dugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah hadis itu betul berasal dari Nabi atau tidak, karena adanya proses sejarah kodifikasi hadis yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan, sebagaimana jaminan keyakinan terhadap  al-Qur'an.

(dari berbagai sumber)

 

 

Sabtu, 05 Desember 2020

Hubungan al-Sunnah dengan al-Qur'an

Dalam hubungannya dengan al-Qur`an maka al-Sunnah berfungsi sebagai berikut:

  • Bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits: Shalluw kama raaitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat), adalah merupakan tafsiran daripada ayat-ayat al-Quran yang umum, yaitu Aqimuw al-shalah (kerjakanlah shalat).
  • Bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an. Seperti Hadis yang berbunyi: Shuwmuw li ru`yatihi wa afthiruw li ru`yathi (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur`an surah al-Baqarah (2):185).
  • Bayan tawdhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur`an, seperti pernyataan Nabi: Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati; adalah tawdhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur`an dalam surah al-Taubah (9): 34. 

Jumat, 04 Desember 2020

Kedudukan al-Sunnah

Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur'an. Setiap orang yang beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus pula beriman kepada al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam juga. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang dapat dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, misalnya:

a.   Setiap mukmin harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S.al-Nisa, (4):59).

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الاَمْرِ مِنْكُم، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُم تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَاليَـوْمِ الاٰخِرِ‌ ذٰ لِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَاوِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 b.   Kepatuhan kepada Rasul berarti   patuh dan cinta kepada Allah (Q.S. Ali Imran, (3): 31).

قُلْ اِنكُنتُم تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُم ذُنُوْبَكُم‌ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 c.   Orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (Q.S. al-Anfal, (8): 13).

ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ شَاقُّواْ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ‌ وَمَنْ يُّشَاقِقِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh, Allah sangat keras siksaNya.

d.   Berhukum dengan Sunnah adalah ciri orang yang beriman (Q.S. al-Nisa, (4): 65).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُم ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىۤ اَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Apabila Sunnah/Hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan sebagai berikut:

a.   Kesulitan dalam melaksanakan shalat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya; karena ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah/Hadis.

b.   Kesulitan dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya, yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya; karena apabila penafsiran terhadap ayat-ayat seperti itu hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio, maka akan melahirkan penafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c.  Kesulitan dalam hal mengikuti pola hidup Nabi, karena pola hidup Nabi hanya dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya. Pada hal kewajiban mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur'an.

d.   Kesulitan dalam hal menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah/Hadis yang tidak ada dalam al-Qur'an, seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, yang dalam al-Qur'an bangkai itu haram.

 

Kamis, 03 Desember 2020

Pengertian al-Sunnah dan al-Hadis

Secara etimologis, sunnah berarti jalan atau tradisi, kebiasaan, adat istiadat; dapat juga berarti undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku, cara yang diadakan, jalan yang telah dijalani, keterangan.

Sedangkan hadis secara etimologi berarti berita atau khabar, seperti: falya`tu bihaditsin mitslihi; dekat, seperti: hadits sl-ahl bi al-Islam; baru, seperti : Allah Qadim mustahil Hadis.

Secara terminologi, al-Sunnah dan al-Hadis dianggap identik, yaitu perbuatan, perkataan dan taqrir (keizinan) Nabi Muhammad saw.

Ada yang lain berpendapat bahwa antara al-Sunnah dengan al-hadits berbeda dari segi penggunaannya, tetapi tidak berbeda dalam tujuannya. 

Rabu, 02 Desember 2020

Kandungan al-Qur`an

  • Al-Qur`an mengandung beberapa pokok persoalan, kesemuanya tercakup dalam surah al-Fatihah, antara lain meliputi:
  • Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Hari Kemudian, Qadha dan Qadar, dan sebagainya.
  • Prinsip-prinsip syari`ah, baik mengenai ibadah khusus, seperti shalat, zakat, puasa dan haji; maupun mengenai ibadah umum, seperti perekonomian, pemerintahan, pernikahan, kemasyarakatan, dsb.
  • Janji dan ancaman (tabsyir dan tandzir), yaitu janji terhadap orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan (syurga), dan ancaman terhadap orang yang berbuat dosa/kejahatan dengan balasan siksa (neraka).
  • Kisah para Nabi/Rasul Allah serta umat-umat terdahulu, guna menjadi I`tibar (perhatian) bagi kita, agar kita dapat mengambil pelajaran daripadanya.
  • Konsep ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang masalah ketuhanan (agama), manusia, masyarakat, maupun pengetahuan tentang alam semesta.

Senin, 30 November 2020

Sejarah Singkat Kodifikasi al-Qur'an

 

Allah menjamin kemurnian dan kesucian al-Qur'an (lihat Q.S. al-Hijr, 15:9), akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan dan pengurangan-pengurangan.

Di samping itu, dalam catatan sejarah, juga dapat dibuktikan bahwa proses penulisan dan kodifikasi al-Qur`an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan.

Al-Qur`an telah selesai ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, beliau langsung memerintakan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka menulis, mereka juga menghafalnya sekaligus mengamalkannya.

Pada awal pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, atas inisiatif Umar Ibnu Khattab, al-Qur`an telah dikodifikasi menjadi sebuah mushaf oleh Zaid bin Tsabit; berdasarkan alasan adanya peristiwa perang Yamamah yang menewaskan 70 penghafal al-Qur'an, sehingga dikhawatirkan  jika peristiwa itu berlanjut, penghafal al-Qur'an akan punah/langka yang dapat mengakibatkan hilangnya keaslian dan kemurnian al-Qur'an.

Al-Qur'an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit itu diserahkan kepada khalifah Abu Bakar dan tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah beliau wafat Mushaf al-Qur’an itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, istri Rasulullah saw. sampai masa kodifikasi al-Qur`an di zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan timbul pertikaian tentang qiraat (bacaan) al-Qur`an. Kalau pertikaian tersebut dibiarkan saja, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum muslimin. Karena itu, Utsman bin Affan berupaya untuk menghilangkan pertikaian tersebut dengan jalan menulis kembali al-Qur'an dengan memakai lahjah (dialek) aslinya yaitu lahjah bahasa Arab Quraisy. Untuk itu, Utsman bin Affan membentuk lajnah (panitia) penulis dan kodifikasi al-Qur'an, yang diketahui oleh Zaid bin Tsabit, anggotanya adalah Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abd. al-Rahman bin Haris bin Hisyam.

Tugas panitia ini ialah mengkodifikasi al-Qur'an, yakni menyalin dari mushaf yang disimpan di rumah Hafsah menjadi sebuah mushaf yang berdialek bahasa Arab Quraisy. Hasil kodifikasi panitia ini, sebanyak lima buah mushaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah (masing-masing satu buah mushaf), dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan Mushaf al-Imam.

Mushaf-mushaf al-Qur'an tersebut tidak berbaris dan tidak bertitik. Tetapi, karena telah mempergunakan dialek Qurisy, maka pada umumnya orang Quraisy dapat membacanya dan mengerti kandungannya. Namun, setelah masuknya orang-orang di luar Jazirah Arab ke dalam Islam, maka mulai timbul kesalahfahaman dalam membaca dan mengartikan al-Qur'an sehingga timbul usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan penulisannya dan penyeragaman bacaannya. Usaha itu dilakukan oleh Abu Aswad al-Dualy dengan membuat tanda baca yaitu memberi baris akhir kalimat dengan satu titik di atas (a), satu titik di bawah (i), satu titik samping (u), dan dua titik untuk tanda dua baris.

Usaha selanjutnya, dilakukan oleh Nashir bin Ashim dengan memberi titik pada huruf al-Qur'an; dan kemudian disempurnakan oleh al-Khalil bin Ahmad dengan memberi baris secara sempurna, yaitu huruf waw yang kecil di atas untuk tanda dhammah, huruf alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah, kepala huruf syin untuk tanda  syiddah, kepala huruf ha untuk sukun, dan kepala huruf 'ain untuk hamzah. Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, timbul usaha untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an, sehingga muncul terjemahan dan menafsirkan al-Qur'an menurut bidang ilmu; bahkan kini muncul pembahasan al-Qur'an menurut disiplin ilmu yang ada dengan mengumpulkan semua ayat yang ada hubungannya dengan disiplin ilmu tersebut. al-Qur'an pertama kali dicetak pada tahun 1644 di Hamburg (Jerman).

Dewasa     ini, al-Qur`an telah mampu menunjukkan kehebatannya serta keasliannya, dan mampu pula menjadikan dirinya sebagai pegangan dan rujukan pelbagai ilmu pengetahuan, berdasarkan adanya kesadaran manusia bahwa al-Qur'an adalah kitab Allah yang asli serta penuh dengan kandungan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu faktor yang dapat mendukung keaslian dan kehebatan al-Qur'an ialah perjanjian sejarah kodifikasi al-Qur'an yang sangat meyakinkan serta dukungan kemudahan penerimaan al-Qur'an dari generasi ke generasi serta penghafalan al-Qur'an dari zaman ke zaman yang berfungsi sebagai kontrol yang sangat meyakinkan terhadap keaslian al-Qur'an tersebut.

Di samping itu, faktor yang turut mendukung keaslian al-Qur'an adalah karena al-Qur'an mengandung sistem tasyrik yang sangat indah, yaitu (1) thabi`iyah (bersifat alami), (2) ma`qul (bersifat logis), (3) wawathan (bersifat tengah-tengah, tidak ekstrim), (4) dinamik tidak bersifat statis, yakni senantiasa mendorong ke arah kemajuan, (5) realistis tidak utopis,  yakni berdasarkan kenyataan, tidak menghayal dalam mengemukakan sesuatu.   

 

Minggu, 29 November 2020

Fungsi al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai berikut :

a.   Mu’jizat bagi rasul Allah Muhammad saw, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Isra (17) : 88,

قُلْ لَئِنْ اجْتَمَعَتْ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

      Q.S. Yunus (10) : 38.

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنْ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

      Mu’jizat yang didatangkan para Nabi dan Rasul Allah ada dua macam, yaitu hissy dan akly

                  Hissy ialah yang didapat dengan pandangan mata, seperti tongkat Nabi Musa, keluarnya air dari celah-celah jari Nabi Muhammad, dan sebagainya.

      Akly ialah yang didapatkan dengan mata hati, seperti mengambarkan berita baik, baik secara sindiran, maupun secara tegas dan menerangkan hakekat ilmu yang diperoleh dengan tidak dipelajari.

            Mu’jizat Nabi Muhammad yang bersifat hissy adalah : batu kerikil bertasbih di tanganya, berbicara dengan serigala, datang pohon kayu kepadanya, dan sebagainya. Sedangkan mu’jizat Nabi Muhammad yang bersifat akly adalah: al-Qur’an. Al-Qur’an itu suatu ayat hissiyah yang dapat dirasai pancaindera;  tetapi akliyah (bersifat akal), diam tidak berbicara, kekal sepanjang masa, berkembang di dalam dunia.

            Seluruh ayat al-Qur’an, baik dalam jumlah sedikit atau banyak adalah mu’jizat atau setiap ayat al-Qur’an memiliki  i’jaz segi balaghahnya yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Itulah sebabnya mu’jihad al-Qur’an telah menjadi salah satu sebab penting bagi masuknya orang-orang Arab ke dalam agama Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang sekarang, dan (insya Allah) pada masa-masa yang akan datang.

Menurut Dr.Quraisy Shihab, M.A. ada tiga segi kemu’jizatan al-Qur’an, yaitu:

1).  Pemberitaan gaibnya, ini terbagi dua, 1) masa lampau dan 2) masa yang akan datang; masa yang akan datang ini juga terbagi dua, yaitu a) yang sudah terbukti dan b) yang belum terbukti.

2).  Isyarat-isyarat ilmiah yang menyangkut banyak hal, misalnya penciptaan alam semesta, reproduksi manusia, dan sebagainya.

3).  Dari segi bahasanya, baik balaghahnya maupun fashahahnya. Secara umum hal ini, sekarang sudah sulit dibuktikan.

Ketiga segi kemu’jizatan al-Qur’an tersebut tidak dapat dibuktikan tanpa mengaitkan dengan pribadi Nabi Muhammad.

            Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dnegan pemberitaan gaib masa lampau (sejarah) seperti tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba, Tsamud, Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa dan lain-lain, dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia.

            Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pemberitaan gaib masa yang akan datang (ramalan-ramalan) dan sudah terbukti atau dibuktikan oleh sejarah seperti tentang runtuhnya bangsa Rumawi (Q.S.al-Rum (30) : 2,3,4.

غُلِبَتْ الرُّومُ(2)فِي أَدْنَى اْلأََرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ(3)فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ اْلأََمْرُ مِنْ

قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ(4)

berpecah belahnya Kristen (Q.S. al-Maidah (5) : 14

وَمِنْ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمْ

الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمْ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

juga menjadi bukti kepada kita bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt.

Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dnegan ilmu pengetahuan dapat menyakinkan kita bahwa al-Qur’an adalah firman-firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apabila ciptaan Nabi Muhammad yang ummi (Q.S. al-A’raf (7) : 158,

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ واْلأََرْضِ لاَ إِلَهَ اِلاَّ هُوَ

يُحْيِ وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ

تَهْتَدُونَ

yang hidup pada awal abad keenam Masehi.

            Bahasa al-Qur’an yang sangat indah dan susunan katanya yang rapi, tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya. Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti merupakan ciri dari gaya bahasa al-Qur’an.

            Karena gaya bahasa yang demikian itulah, maka Umar bin Khattab masuk Islam setelah mendengar al-Qur’an awal surah Thaha yang dibicara oleh adiknya Fatimah, Abul Walid, diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surah Fushshilat yang dikemukakan Rasul Allah Muhammad saw. sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan diplomasinya. Bahkan Abu Jahal musuh besar Nabi karena mendengar surah al-Dhuha yang dibaca Nabi.

            Tepat apa yang dinyatakan al-Qur’an, bahwa seseorang tidak menerima kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah disebabkan oleh salah satu dari dua sebab, yaitu :

1).  Tidak berfikir dengan jujur dan sungguh-sungguh. Hal ini disebut al-maghdhub (dimurkai Tuhan) karena tahu kebenaran, tetapi tidak mau menerima kebenaran itu.

2).  Tidak sempat mendengar dan mengetahui al-Qur’an secara baik. Hal ini disebut al-Dhallin (orang sesat) karena tidak menemukan kebenaran itu.

            Sebagai jaminan bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah, maka al-Qur’an sendiri     menantang setiap manusia untuk membuat satu surah saja yang senilai dengan al-Qur’an (lihat Surah al-Baqarah (2) : 23,24).

b.   Pedoman hidup bagi setiap manusia, khususnya yang sudah muslim, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Ba qarah (2): 185 dan Q.S. al-Nisa (4): 105 al-Maidah (5) : 49, 50 al-Jatsiyah (45) : 20.

            Sebagai pedoman hidup, al-Qur`an banyak mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia, dan manusia dengan alam yang lain. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti: beribadah langsung kepada Tuhan, kewarisan, pendidikan dan pengajaran, kepemimpinan, berperang, pidana, dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu, sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-A`raf (7): 158; al-Anbiya (21): 107; Saba (35) : 28.

            Setiap muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut dalam kehidupannya, sesuai Q.s. al-Baqarah (2): 208; al-An`am  (6): 153; al-Taubah (9): 51.

Sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai itu dipandang oleh al-Qur`an sebagai bentuk pelanggaran dan dosa, sesuai Q.s. al-Ahzab (33): 36; al-Baqarah (2): 265. Melaksanakannya dinilai ibadah, sesuai Q.s. al-Nisa (4): 69; al-Ahzab (33): 71; al-Nur (24): 52; memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci, sesuai Q.s. al-Taubah (9): 41; al-Shaf (61): 10-13; mati karenanya dinilai sebagai mati syahid, sesuai Q.s. Ali Imran (3): 157; 169; hijrah karena memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian (3): 195; dan tidak mau melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasik, dan kafir, sesuai Q.s. al-Maidah (5): 44, 45, 47.  

c.   Sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya, sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-Maidah (5): 48, 15; al-Nahl (16): 64, dan bernilai abadi.

            Sebagai korektor, al-Qur`an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang dinilai oleh al-Qur`an tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum, prinsip-prinsip ketuhanan, dan sebagainya. Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan al-Qur`an antara lain sebagai berikut:

1).  Tentang ajaran Trinitas, tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5): 75.

2).  Tentang Isa, tercantum dalam Q.S. Ali Imran (3): 49, 59; al-Maidah (5): 72.

3).  Tentang penyaliban Isa, tercantum dalam Q.S. al-Nisa (4): 157, 158.

4).  Tentang ajaran Sulaiman, tercantum dalam Q.s. al-Baqarah (2): 102.

5).  Tentang ajaran Harun, tercantum dalam Q.s. Thaha (20): 90-94, dan lain-lain.

d.   Sarana peribadatan

     Al-Qur`an merupakan sarana peribadatan yang sangat tinggi nilainya, karena dengan membaca al-Qur`an saja Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda, apalagi kalau mengamalkan kandungannya.

Mengenai pahala orang yang membaca dan mendengarkan al-Qur`an dinyatakan oleh Allah dalam Q.S. al-A`raf (7): 204, yang artinya: Dan apabila dibacakan al-Qur`an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat.

Al-Qur`an adalah bacaan yang paling baik bagi orang yang beriman, karena di samping mendapat pahala yang berlipat ganda, juga dapat menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.

Ibnu Mas`ud berkata: Jika jiwamu gelisah, maka bawalah hatimu ke tiga tempat, yaitu: 1) ke tempat orang yang membaca al-Qur`an, engkau baca al-Qur`an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya; 2) engkau pergi ke majelis pengajian yang mengingatkan hatimu ke pada Allah; dan 3) engkau cari waktu atau tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah; umpamanya di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam minta kepada Allah ketenangan jiwa, ketenteraman fikiran dan kemurnian hati; seandainya jiwamu belum juga diberi hati yang lain, sebab hati yang engkau pakai itu, bukan hatimu lagi.

c.   Penyempurnaan kitab-kitab Allah terdahulu

Kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an, tidak berlaku universal, hanya sesuai dengan masa dan tempat di mana kitab-kitab itu diturunkan. Karena itu, al-Qur`an datang untuk menyempurnakan, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Maidah (5): 3, yang artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu  dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuredhai Islam jadi agamamu.

Berdasarkan penegasan al-Qur`an tersebut, ditambah dengan kenyataan obyektif dari kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an yang sudah diinterpolasi oleh manusia, maka kita tidak boleh lagi beriman kepada apa yang dinamakan kitab Zabur, Taurat dan Injil yang ada di permukaan bumi kita dewasa ini.

Iman kepada kitab-kitab Allah sebelum al-Qur`an itu, hanya berarti kitab wajib percaya bahwa sebelum al-Qur`an Allah telah pernah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi dan Rasul-Nya; tidak mengharuskan kita untuk mengikuti ajarannya, sebab ia telah mansukh (terhapus) dan digantikan oleh ajaran al-Qur`an. Dengan demikian; al-Qur`anlah satu-satunya kitab suci yang wajib kita imani dan kita ikuti ajarannya sebagai jalan keselamatan yang sesungguhnya.

(dari berbagai sumber)

Kamis, 01 Oktober 2020

Pengertian al-Qur`an

Secara etimologis, kata Qur`an adalah isim masdar (bentuk infinitif) dari kata qaraa – yaqrau – quranan, yang berarti : bacaan. Dr. Subhi al-Salih mengatakan : kata al-Qur`an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru (dibaca), maksudnya al-Qur`an itu harus dibaca. Dalam al-Qur`an sendiri ada pemakaian kata qur`an dalam arti demikian, sebagai tercantum dalam surah al-Qiyamah (75): 17, 18.

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ(18)

Secara terminologi, al-Qur`an ialah: Kalam Allah swt. yang merupakan mu`jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dimushaf, diriwayatkan dengan mutawatir, dan membacanya adalah ibadah.

Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi selain Nabi Muhammad saw., tidak dinamakan al-Qur`an seperti Zabur, Taurat dan Injil juga Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak pula dinamakan al-Qur`an.

Al-Qur`an adalah sumber asasi yang pertama, norma dan nilai dalam Islam, ia adalah himpunan firman Allah swt. untuk segenap umat manusia di atas planet bumi ini, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.  secara berangsur-angsur selama ± 23 tahun, yaitu 13 tahun sebelum hijrah sampai 10 tahun setelah hijrah.

Selasa, 01 September 2020

Kerangka Dasar Agama Islam

Agama Islam yang mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, kerangka dasarnya dapat disederhanakan seperti berikut;

1.   Aqidah Islam, yakni menyangkut masalah rukun iman atau teologi dalam Islam.

2.   Syariat Islam, yakni menyangkut masalah hukum dan ketentuan dalam Islam, baik dalam kaitannya dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan makhluk yang lain. Syari`at Islam mencakup dua hal, yaitu: ibadah khusus atau ibadah mahdlah (murni), dan ibadah umum atau muamalah dalam arti yang luas.

      Ibadah khusus atau ibadah madlah adalah menyangkut rukun Islam; sedangkan ibadah umum atau muamalah dalam arti yang luas adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

      a.   Al-Ahwal al-Syakhsiyyah, yaitu peraturan yang mengatur hukum perseorangan dan keluarga.

      b.   Mu`amalah dalam arti khusus, yaitu peraturan yang mengatur hukum benda dan perjanjian.

      c.   Jinayat, yaitu peraturan yang mengatur tindak pidana dan sekitarnya.

      d.   Al-Mukhashamat, yaitu pengaturan yang mengatur hukum acara dan peradilan.

      e.   Al-Fiqh al-Dawliyyah, yaitu peraturan yang mengatur hukum kekuasaan dan hubungan international.

      f.    Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, yaitu peraturan yang mengatur hukum tatanegara dan administrasi negara.

3.   Akhlak Islam, yaitu menyangkut masalah tata nilai, sifat perangai dan budi pekerti seorang muslim, baik terhadap Allah, sesama manusia dan terhadap alam yang lain.

            Akhlak Islam merupakan buah dari pelaksanaan syari’at Islam yang berakar pada aqidah Islam.

            Ketiga kerangka dasar agama Islam tersebut, bersumber pada dua sumber pokok yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau Sunnah Nabi saw. kemudian diperkaya oleh hasil ijtihad para ulama.