Sejak Kedatangan Islam pada abad ke13 M hingga saat ini, fenomena pemahaman keIslaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat fariatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannnya
Kita misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya tentang ke-Islaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka bisanya datang dari kalangan ulama yang belajar ilmu keislaman secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam satu acuan yang sama semacam kurikulum. Akibat dari keadaan demikian, maka yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya itu, dan karena mereka tidak dapat ditugaskan mengajar di Perguruan Tinggi misalnya, lantaran pengajaran Ke-Islaman di Perguruan Tinggi biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasian sebagaimana diatur dalam kurikulum dan silabus.
Selanjutnya
kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang
keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman
lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap
sebagai ilmu yang elasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Kita
melihat bahwa ilmu fiqhi misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan
perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah yang
ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma ilmu fiqhi. Ketika kepadanya
ditanyakan tentang bagaimana cara mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka jawabannya
adalah dengan cara memusnahkan tempat-tempat pelacuran tersebut, karena
dianggap sebagai tempat maksiat. Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan
masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang
memerlukan ketetapan hukumnya melainkan juga masalah ketenaga kerjaan,
kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perekonomian, dan sebagainya, yang
dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada
tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona masyarakat adalah ilmu
kalam (teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari
paradigma teologi. Lebih dari itu teologi yang dipelajarinya pun berpusat pada
Asy'ariyah dan Maturidiyah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap sebagai
sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan,
saling menghargai dan sebagainya.
Setelah
itu muncul pula paham keIslaman bercorak tasawuf yang sudah mengambil bentuk
tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan
duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia terkesan
diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat, sedangkan urusan dunia
menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan ummat menjadi mundur dalam bidang
keduniaan, materi dan fasilitas hidup lainnya.
Dari
beberapa contoh tentang pemahaman keislaman tersebut di atas kita dapat
memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Isam yang terjadi di
masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan
sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan
komprehensif, namun semuanya itu berlum tersosialisasikan secara merata ke
seluruh masyarakat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar