Selasa, 08 Desember 2020

Sejarah Singkat Perkembangan al-Hadis

 Para muhadditsin membagi perkembangan hadis itu kepada tujuh periode, yaitu:

a.   Periode wahyu dan pembentukan hukum (masa Nabi: 13 SH 10 H).

Pada periode ini, Nabi melarang menulis hadis secara umum, karena dikhawatirkan terjadinya percampuran antara al-Qur'an dengan hadis (pendapat umum). Menurut Dr. Quraisy Shihab, M.A., larangan tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas dan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menulis, serta kurangnya sahabat yang dapat menulis. Nabi hanya memperkenankan menulis hadis secara pribadi bagi Abdullah Ibn Amr Ibn Hazm.

b.   Periode pembatasan riwayat (masa al-Khulafa al-rasyidin : 11 – 40 H).

Pembatasan riwayat (kisah israiliyat) dilakukan oleh para sahabat Nabi waktu itu, guna mencegah kemungkinan timbulnya hadis palsu, sedangkan perhatian mereka difokuskan kepada kodifikasi al-Qur'an.

c.   Periode pencarian hadis (masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41-akhir abad I H).

Pada masa ini ekspansi kekuasaan Islam sangat meluas, sehingga umat Islam banyak menghadapi persoalan baru yang belum tegas dalam al-Qur'an, karena itu hadis Nabi sangat dibutuhkan untuk mendampingi al-Qur'an, maka sahabat-sahabat muda berupaya untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi sebagai langkah awal kodifikasi hadis pada periode berikutnya.

d.   Periode kodifikasi atau pembukuan hadis (permulaan abad II H).

Hadis-hadis yang berhasil dikumpulkan pada periode sebelumnya, kemudian dikodifikasi pada periode ini atas inisiatif  Umar Ibn  Abd al-Azi, khalifah yang kedelapan dari Dinasti Umayyah.

e.   Periode penyaringan dan seleksi hadis (awal abad III H sampai selesai)

Masa ini merupakan masa keemasan dari perkembangan hadis Nabi, karena pada masa inilah munculnya berbagai disiplin ilmu hadis, dan munculnya hadis-hadis Nabi yang dapat dijadikan hujjah (dalil) serta hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagai hasil ijtihad dari pada ulama hadis. Berbagai kitab hadis telah berhasil disusun oleh ulama selektor hadis pada masa ini, misalnya: kitab al-shahihain, rawah al-khamsah, kutub al-sittah dan  rawah al-sab`ah, dan seba-gainya.

f.    Periode penyusunan kitab-kitab koleksi hadis (awal abad IV H sampai jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H atau 1258 M.)

g.   Periode pembuatan kitab syarah dan takhrij hadis serta penyusunan kitab-kitab koleksi hadis yang lebih umum, yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis dan fiqh sesudah jatuhnya Bagdad (656 H) sampai masa renaissance dalam pemikiran ajaran Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang ini.

Senin, 07 Desember 2020

Perbedaan al-Qur`an dan Hadis sebagai Sumber Hukum

Walaupun al-Qur'an dan hadis sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut:

a.  Al-Qur'an adalah qath'i (mutlak) nilai kebenarannya, sedangkan hadis adalah dhanni (relatif), kecuali hadis mutawatir.

b.   Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, sedangkan hadis tidak seluruhnya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup; karena di samping ada hadis yang tasyri ada juga hadis yang ghairu tasyri, di samping ada hadis yang shahih ada pula hadis yang dha`if dan seterusnya.

c.   Al-Qur'an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya, sedangkan hadis tidak.

d.  Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang gaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi, tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadis.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, maka penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur'an hendaknya didasarkan atas keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaannya terhadap hadis harus didasarkan atas keragu-raguan (dugaan-dugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah hadis itu betul berasal dari Nabi atau tidak, karena adanya proses sejarah kodifikasi hadis yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan, sebagaimana jaminan keyakinan terhadap  al-Qur'an.

(dari berbagai sumber)

 

 

Sabtu, 05 Desember 2020

Hubungan al-Sunnah dengan al-Qur'an

Dalam hubungannya dengan al-Qur`an maka al-Sunnah berfungsi sebagai berikut:

  • Bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits: Shalluw kama raaitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat), adalah merupakan tafsiran daripada ayat-ayat al-Quran yang umum, yaitu Aqimuw al-shalah (kerjakanlah shalat).
  • Bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an. Seperti Hadis yang berbunyi: Shuwmuw li ru`yatihi wa afthiruw li ru`yathi (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur`an surah al-Baqarah (2):185).
  • Bayan tawdhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur`an, seperti pernyataan Nabi: Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati; adalah tawdhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur`an dalam surah al-Taubah (9): 34. 

Jumat, 04 Desember 2020

Kedudukan al-Sunnah

Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur'an. Setiap orang yang beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus pula beriman kepada al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam juga. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang dapat dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, misalnya:

a.   Setiap mukmin harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S.al-Nisa, (4):59).

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الاَمْرِ مِنْكُم، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُم تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَاليَـوْمِ الاٰخِرِ‌ ذٰ لِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَاوِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 b.   Kepatuhan kepada Rasul berarti   patuh dan cinta kepada Allah (Q.S. Ali Imran, (3): 31).

قُلْ اِنكُنتُم تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُم ذُنُوْبَكُم‌ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 c.   Orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (Q.S. al-Anfal, (8): 13).

ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ شَاقُّواْ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ‌ وَمَنْ يُّشَاقِقِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh, Allah sangat keras siksaNya.

d.   Berhukum dengan Sunnah adalah ciri orang yang beriman (Q.S. al-Nisa, (4): 65).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُم ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىۤ اَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Apabila Sunnah/Hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan sebagai berikut:

a.   Kesulitan dalam melaksanakan shalat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya; karena ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah/Hadis.

b.   Kesulitan dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya, yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya; karena apabila penafsiran terhadap ayat-ayat seperti itu hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio, maka akan melahirkan penafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c.  Kesulitan dalam hal mengikuti pola hidup Nabi, karena pola hidup Nabi hanya dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya. Pada hal kewajiban mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur'an.

d.   Kesulitan dalam hal menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah/Hadis yang tidak ada dalam al-Qur'an, seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, yang dalam al-Qur'an bangkai itu haram.