Jumat, 04 Desember 2020

Kedudukan al-Sunnah

Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur'an. Setiap orang yang beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus pula beriman kepada al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam juga. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang dapat dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, misalnya:

a.   Setiap mukmin harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S.al-Nisa, (4):59).

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الاَمْرِ مِنْكُم، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُم تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَاليَـوْمِ الاٰخِرِ‌ ذٰ لِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَاوِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 b.   Kepatuhan kepada Rasul berarti   patuh dan cinta kepada Allah (Q.S. Ali Imran, (3): 31).

قُلْ اِنكُنتُم تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُم ذُنُوْبَكُم‌ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 c.   Orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (Q.S. al-Anfal, (8): 13).

ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ شَاقُّواْ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ‌ وَمَنْ يُّشَاقِقِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh, Allah sangat keras siksaNya.

d.   Berhukum dengan Sunnah adalah ciri orang yang beriman (Q.S. al-Nisa, (4): 65).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُم ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىۤ اَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Apabila Sunnah/Hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan sebagai berikut:

a.   Kesulitan dalam melaksanakan shalat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya; karena ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah/Hadis.

b.   Kesulitan dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya, yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya; karena apabila penafsiran terhadap ayat-ayat seperti itu hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio, maka akan melahirkan penafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c.  Kesulitan dalam hal mengikuti pola hidup Nabi, karena pola hidup Nabi hanya dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya. Pada hal kewajiban mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur'an.

d.   Kesulitan dalam hal menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah/Hadis yang tidak ada dalam al-Qur'an, seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, yang dalam al-Qur'an bangkai itu haram.

 

Kamis, 03 Desember 2020

Pengertian al-Sunnah dan al-Hadis

Secara etimologis, sunnah berarti jalan atau tradisi, kebiasaan, adat istiadat; dapat juga berarti undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku, cara yang diadakan, jalan yang telah dijalani, keterangan.

Sedangkan hadis secara etimologi berarti berita atau khabar, seperti: falya`tu bihaditsin mitslihi; dekat, seperti: hadits sl-ahl bi al-Islam; baru, seperti : Allah Qadim mustahil Hadis.

Secara terminologi, al-Sunnah dan al-Hadis dianggap identik, yaitu perbuatan, perkataan dan taqrir (keizinan) Nabi Muhammad saw.

Ada yang lain berpendapat bahwa antara al-Sunnah dengan al-hadits berbeda dari segi penggunaannya, tetapi tidak berbeda dalam tujuannya. 

Rabu, 02 Desember 2020

Kandungan al-Qur`an

  • Al-Qur`an mengandung beberapa pokok persoalan, kesemuanya tercakup dalam surah al-Fatihah, antara lain meliputi:
  • Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Hari Kemudian, Qadha dan Qadar, dan sebagainya.
  • Prinsip-prinsip syari`ah, baik mengenai ibadah khusus, seperti shalat, zakat, puasa dan haji; maupun mengenai ibadah umum, seperti perekonomian, pemerintahan, pernikahan, kemasyarakatan, dsb.
  • Janji dan ancaman (tabsyir dan tandzir), yaitu janji terhadap orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan (syurga), dan ancaman terhadap orang yang berbuat dosa/kejahatan dengan balasan siksa (neraka).
  • Kisah para Nabi/Rasul Allah serta umat-umat terdahulu, guna menjadi I`tibar (perhatian) bagi kita, agar kita dapat mengambil pelajaran daripadanya.
  • Konsep ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang masalah ketuhanan (agama), manusia, masyarakat, maupun pengetahuan tentang alam semesta.

Senin, 30 November 2020

Sejarah Singkat Kodifikasi al-Qur'an

 

Allah menjamin kemurnian dan kesucian al-Qur'an (lihat Q.S. al-Hijr, 15:9), akan selamat dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan dan pengurangan-pengurangan.

Di samping itu, dalam catatan sejarah, juga dapat dibuktikan bahwa proses penulisan dan kodifikasi al-Qur`an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan.

Al-Qur`an telah selesai ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, beliau langsung memerintakan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka menulis, mereka juga menghafalnya sekaligus mengamalkannya.

Pada awal pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, atas inisiatif Umar Ibnu Khattab, al-Qur`an telah dikodifikasi menjadi sebuah mushaf oleh Zaid bin Tsabit; berdasarkan alasan adanya peristiwa perang Yamamah yang menewaskan 70 penghafal al-Qur'an, sehingga dikhawatirkan  jika peristiwa itu berlanjut, penghafal al-Qur'an akan punah/langka yang dapat mengakibatkan hilangnya keaslian dan kemurnian al-Qur'an.

Al-Qur'an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit itu diserahkan kepada khalifah Abu Bakar dan tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah beliau wafat Mushaf al-Qur’an itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, istri Rasulullah saw. sampai masa kodifikasi al-Qur`an di zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan timbul pertikaian tentang qiraat (bacaan) al-Qur`an. Kalau pertikaian tersebut dibiarkan saja, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum muslimin. Karena itu, Utsman bin Affan berupaya untuk menghilangkan pertikaian tersebut dengan jalan menulis kembali al-Qur'an dengan memakai lahjah (dialek) aslinya yaitu lahjah bahasa Arab Quraisy. Untuk itu, Utsman bin Affan membentuk lajnah (panitia) penulis dan kodifikasi al-Qur'an, yang diketahui oleh Zaid bin Tsabit, anggotanya adalah Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abd. al-Rahman bin Haris bin Hisyam.

Tugas panitia ini ialah mengkodifikasi al-Qur'an, yakni menyalin dari mushaf yang disimpan di rumah Hafsah menjadi sebuah mushaf yang berdialek bahasa Arab Quraisy. Hasil kodifikasi panitia ini, sebanyak lima buah mushaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah (masing-masing satu buah mushaf), dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan Mushaf al-Imam.

Mushaf-mushaf al-Qur'an tersebut tidak berbaris dan tidak bertitik. Tetapi, karena telah mempergunakan dialek Qurisy, maka pada umumnya orang Quraisy dapat membacanya dan mengerti kandungannya. Namun, setelah masuknya orang-orang di luar Jazirah Arab ke dalam Islam, maka mulai timbul kesalahfahaman dalam membaca dan mengartikan al-Qur'an sehingga timbul usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan penulisannya dan penyeragaman bacaannya. Usaha itu dilakukan oleh Abu Aswad al-Dualy dengan membuat tanda baca yaitu memberi baris akhir kalimat dengan satu titik di atas (a), satu titik di bawah (i), satu titik samping (u), dan dua titik untuk tanda dua baris.

Usaha selanjutnya, dilakukan oleh Nashir bin Ashim dengan memberi titik pada huruf al-Qur'an; dan kemudian disempurnakan oleh al-Khalil bin Ahmad dengan memberi baris secara sempurna, yaitu huruf waw yang kecil di atas untuk tanda dhammah, huruf alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah, kepala huruf syin untuk tanda  syiddah, kepala huruf ha untuk sukun, dan kepala huruf 'ain untuk hamzah. Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, timbul usaha untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an, sehingga muncul terjemahan dan menafsirkan al-Qur'an menurut bidang ilmu; bahkan kini muncul pembahasan al-Qur'an menurut disiplin ilmu yang ada dengan mengumpulkan semua ayat yang ada hubungannya dengan disiplin ilmu tersebut. al-Qur'an pertama kali dicetak pada tahun 1644 di Hamburg (Jerman).

Dewasa     ini, al-Qur`an telah mampu menunjukkan kehebatannya serta keasliannya, dan mampu pula menjadikan dirinya sebagai pegangan dan rujukan pelbagai ilmu pengetahuan, berdasarkan adanya kesadaran manusia bahwa al-Qur'an adalah kitab Allah yang asli serta penuh dengan kandungan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu faktor yang dapat mendukung keaslian dan kehebatan al-Qur'an ialah perjanjian sejarah kodifikasi al-Qur'an yang sangat meyakinkan serta dukungan kemudahan penerimaan al-Qur'an dari generasi ke generasi serta penghafalan al-Qur'an dari zaman ke zaman yang berfungsi sebagai kontrol yang sangat meyakinkan terhadap keaslian al-Qur'an tersebut.

Di samping itu, faktor yang turut mendukung keaslian al-Qur'an adalah karena al-Qur'an mengandung sistem tasyrik yang sangat indah, yaitu (1) thabi`iyah (bersifat alami), (2) ma`qul (bersifat logis), (3) wawathan (bersifat tengah-tengah, tidak ekstrim), (4) dinamik tidak bersifat statis, yakni senantiasa mendorong ke arah kemajuan, (5) realistis tidak utopis,  yakni berdasarkan kenyataan, tidak menghayal dalam mengemukakan sesuatu.