Senin, 14 Juni 2021

Peran Ulama dalam Mengharmonisasikan Islam dengan Kearifan Lokal

Ulama memiliki peran penting dalam mengharmonisasikan ajaran agama dengan kearifan lokal di berbagai daerah. Mereka bertindak sebagai jembatan antara nilai-nilai agama dan tradisi masyarakat, memastikan bahwa praktik-praktik keagamaan dapat diterapkan tanpa mengabaikan atau merusak budaya lokal yang sudah ada. Peran ulama ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ritual keagamaan, adat istiadat, hingga penyelesaian konflik sosial.

Pertama, ulama berperan dalam adaptasi dan integrasi ritual keagamaan dengan tradisi lokal. Mereka memahami pentingnya kearifan lokal dalam menjaga identitas budaya dan kohesi sosial, sehingga mereka cenderung mengadaptasi ajaran agama agar sesuai dengan konteks budaya setempat. Misalnya, tradisi slametan yang merupakan upacara syukuran atau peringatan diadaptasi dengan bacaan doa dan zikir yang sesuai dengan ajaran agama. Ini memungkinkan masyarakat untuk terus menjalankan tradisi mereka sambil tetap mematuhi ajaran agama yang mereka anut (Geertz, Clifford, The Religion of Java, 1960: 89-95).

Kedua, ulama juga berperan sebagai penengah dalam menyelesaikan konflik sosial yang mungkin timbul akibat perbedaan antara ajaran agama dan praktik budaya. Mereka menggunakan pengetahuan mereka tentang hukum agama dan adat untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Misalnya, di Sumatera Barat, ulama memainkan peran penting dalam mengharmonisasikan adat Minangkabau dengan ajaran agama, melalui prinsip "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". Prinsip ini menggabungkan nilai-nilai adat dan syariat dalam satu kesatuan yang harmonis (Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia, 2008: 123-130).

Ketiga, ulama berperan dalam pendidikan dan penyebaran pengetahuan, baik tentang agama maupun kearifan lokal. Melalui pengajaran di pesantren, madrasah, dan majelis taklim, ulama mengajarkan nilai-nilai agama yang diselaraskan dengan tradisi lokal. Pendidikan ini membantu generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya mereka sambil mempelajari ajaran agama yang mereka anut. Selain itu, ulama juga sering kali menjadi penulis dan pencatat sejarah lokal, memastikan bahwa pengetahuan dan tradisi tidak hilang seiring berjalannya waktu (Azra, Azyumardi, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, 2004: 34-41).

Keempat, ulama turut serta dalam upaya pelestarian budaya melalui berbagai kegiatan dan program. Mereka mendukung dan terlibat dalam festival budaya, upacara adat, dan kegiatan seni yang mengangkat kearifan lokal. Ulama juga sering kali memberikan dukungan moral dan spiritual kepada seniman dan budayawan dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya lokal yang sejalan dengan ajaran agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama dan budaya tidak harus saling bertentangan, tetapi dapat saling memperkaya (Hefner, Robert W., Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000: 67-74).

Secara keseluruhan, peran ulama dalam mengharmonisasikan agama dengan Kearifan Lokal sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berimbang. Mereka memastikan bahwa ajaran agama dapat diterima dan dipraktikkan dalam konteks budaya setempat tanpa menghilangkan identitas lokal. Melalui adaptasi, mediasi, pendidikan, dan pelestarian budaya, ulama berkontribusi besar dalam menjaga dan memperkuat hubungan antara agama dan kearifan lokal di berbagai komunitas.

Jumat, 14 Mei 2021

Adaptasi dan Akulturasi Antara Islam dan Budaya Lokal

Agama yang memiliki nilai-nilai universal telah menunjukkan kemampuan adaptasinya terhadap berbagai budaya lokal di seluruh dunia. Sejak pertama kali masuk ke berbagai wilayah, agama ini tidak serta merta menghapus tradisi dan adat istiadat yang sudah ada, melainkan berinteraksi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Pendekatan ini menjadikan agama tersebut mampu diterima dengan baik oleh masyarakat setempat tanpa harus mengorbankan esensi ajarannya. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk tradisi dan adat yang tetap dipertahankan namun diintegrasikan dengan nilai-nilai agama (Esposito, John L. Islam: The Straight Path, 1991: 17-25).

Contoh nyata dari adaptasi ini dapat dilihat di berbagai daerah dengan tradisi-tradisi lokal yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai agama. Misalnya, upacara doa bersama yang diadakan untuk berbagai keperluan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Meskipun asalnya dari tradisi pra-agama, upacara ini diintegrasikan dengan doa-doa religius dan bacaan kitab suci. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan tradisi lokal tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual dalam masyarakat (Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur'an, 1980: 45-52).

Di wilayah tertentu, prinsip yang menggabungkan adat dengan syariat agama mencerminkan bagaimana adat lokal diselaraskan dengan ajaran agama. Sistem adat yang menghormati nilai-nilai kekerabatan dan kepemimpinan dikombinasikan dengan nilai-nilai agama, sehingga menciptakan harmoni yang unik antara adat dan agama. Ini menunjukkan bagaimana agama dapat beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya lokal tanpa harus meniadakan unsur-unsur penting dari keduanya (Geertz, Clifford. The Religion of Java, 1960: 89-95).

Di wilayah lain, meskipun mayoritas penduduknya memiliki kepercayaan yang berbeda, terdapat komunitas yang hidup berdampingan secara harmonis. Tradisi dan adat istiadat komunitas tersebut banyak yang mengadopsi unsur-unsur lokal, seperti penggunaan bahasa daerah dalam doa-doa dan upacara keagamaan. Bahkan, pada perayaan-perayaan tertentu, masyarakat sering kali menggabungkan kesenian tradisional lokal dengan ritual keagamaan, menciptakan bentuk perayaan yang khas dan kaya akan budaya lokal (Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia, 2008: 123-130).

Kemampuan agama untuk beradaptasi dengan budaya lokal menunjukkan fleksibilitas dan inklusivitasnya sebagai sistem kepercayaan. Nilai-nilai universal dalam agama seperti keadilan, kasih sayang, dan toleransi dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya yang berbeda. Adaptasi ini tidak hanya memperkuat penerimaan agama oleh masyarakat lokal tetapi juga memperkaya budaya setempat dengan nilai-nilai yang lebih universal dan transformatif. Melalui pendekatan yang inklusif dan adaptif, agama dapat terus berkembang dan berkontribusi positif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia (Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, 2000: 67-74).

Rabu, 14 April 2021

Islam Sebagai Agama yang Adaptif Terhadap Budaya Lokal

Agama yang memiliki nilai-nilai universal telah menunjukkan kemampuan adaptasinya terhadap berbagai budaya lokal di seluruh dunia. Sejak pertama kali masuk ke berbagai wilayah, agama ini tidak serta merta menghapus tradisi dan adat istiadat yang sudah ada, melainkan berinteraksi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Pendekatan ini menjadikan agama tersebut mampu diterima dengan baik oleh masyarakat setempat tanpa harus mengorbankan esensi ajarannya. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk tradisi dan adat yang tetap dipertahankan namun diintegrasikan dengan nilai-nilai agama.

Contoh nyata dari adaptasi ini dapat dilihat di berbagai daerah dengan tradisi-tradisi lokal yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai agama. Misalnya, upacara doa bersama yang diadakan untuk berbagai keperluan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Meskipun asalnya dari tradisi pra-agama, upacara ini diintegrasikan dengan doa-doa religius dan bacaan kitab suci. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan tradisi lokal tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual dalam masyarakat.

Di wilayah tertentu, prinsip yang menggabungkan adat dengan syariat agama mencerminkan bagaimana adat lokal diselaraskan dengan ajaran agama. Sistem adat yang menghormati nilai-nilai kekerabatan dan kepemimpinan dikombinasikan dengan nilai-nilai agama, sehingga menciptakan harmoni yang unik antara adat dan agama. Ini menunjukkan bagaimana agama dapat beradaptasi dan berakulturasi dengan budaya lokal tanpa harus meniadakan unsur-unsur penting dari keduanya.

Di wilayah lain, meskipun mayoritas penduduknya memiliki kepercayaan yang berbeda, terdapat komunitas yang hidup berdampingan secara harmonis. Tradisi dan adat istiadat komunitas tersebut banyak yang mengadopsi unsur-unsur lokal, seperti penggunaan bahasa daerah dalam doa-doa dan upacara keagamaan. Bahkan, pada perayaan-perayaan tertentu, masyarakat sering kali menggabungkan kesenian tradisional lokal dengan ritual keagamaan, menciptakan bentuk perayaan yang khas dan kaya akan budaya lokal.

Kemampuan agama untuk beradaptasi dengan budaya lokal menunjukkan fleksibilitas dan inklusivitasnya sebagai sistem kepercayaan. Nilai-nilai universal dalam agama seperti keadilan, kasih sayang, dan toleransi dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya yang berbeda. Adaptasi ini tidak hanya memperkuat penerimaan agama oleh masyarakat lokal tetapi juga memperkaya budaya setempat dengan nilai-nilai yang lebih universal dan transformatif. Melalui pendekatan yang inklusif dan adaptif, agama dapat terus berkembang dan berkontribusi positif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia.

Minggu, 14 Maret 2021

Upaya Pelestarian dan Adaptasi Kearifan Lokal

Upaya pelestarian dan adaptasi kearifan lokal merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai, pengetahuan, dan praktik-praktik budaya yang telah berkembang selama berabad-abad tetap relevan dan bermanfaat dalam kehidupan modern. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk menjaga kearifan lokal tetap hidup dan dinamis di tengah arus globalisasi dan modernisasi.

Salah satu upaya pelestarian kearifan lokal adalah melalui pendidikan. Sistem pendidikan formal dan non-formal dapat memasukkan kearifan lokal ke dalam kurikulum dan kegiatan pembelajaran. Ini dapat dilakukan dengan mengajarkan sejarah lokal, adat istiadat, bahasa daerah, dan seni tradisional kepada generasi muda. Melibatkan komunitas dalam proses pendidikan, seperti mengundang tokoh adat dan ahli budaya untuk memberikan kuliah atau workshop, juga dapat memperkaya pemahaman siswa tentang kearifan lokal. Selain itu, dokumentasi dan publikasi pengetahuan tradisional melalui buku, film, dan media digital adalah cara efektif untuk menjaga dan menyebarkan kearifan lokal.

Penguatan komunitas juga merupakan aspek penting dalam pelestarian kearifan lokal. Program pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan partisipasi aktif warga dalam menjaga tradisi dan adat istiadat mereka sangat diperlukan. Dukungan pemerintah dan lembaga non-pemerintah dalam bentuk kebijakan, pendanaan, dan pelatihan dapat memperkuat kemampuan komunitas dalam mempertahankan kearifan lokal. Festival budaya, pameran, dan kompetisi seni tradisional adalah contoh kegiatan yang dapat mempromosikan dan merayakan warisan budaya lokal, sekaligus memperkuat identitas komunitas.

Adaptasi kearifan lokal ke dalam konteks modern juga merupakan strategi penting. Pengetahuan tradisional dapat disesuaikan dengan teknologi dan kebutuhan saat ini untuk menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian organik yang berbasis pada teknik tradisional dapat dipadukan dengan teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan. Pengrajin tradisional juga dapat mengadaptasi desain dan teknik mereka untuk memenuhi selera pasar kontemporer, sehingga produk-produk mereka tetap relevan dan kompetitif. Selain itu, integrasi nilai-nilai lokal dalam pengelolaan bisnis dan pemerintahan dapat menciptakan model pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kemitraan antara berbagai pihak adalah kunci dalam pelestarian dan adaptasi kearifan lokal. Kerjasama antara pemerintah, akademisi, komunitas, dan sektor swasta dapat menghasilkan program-program yang komprehensif dan berkelanjutan. Penelitian dan pengembangan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal dapat menghasilkan inovasi yang relevan dan bermanfaat. Selain itu, pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal melalui penghargaan budaya dan sertifikasi produk dapat meningkatkan apresiasi dan nilai ekonomi dari warisan budaya tersebut.

Secara keseluruhan, upaya pelestarian dan adaptasi kearifan lokal memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Dengan memanfaatkan pendidikan, pemberdayaan komunitas, adaptasi teknologi, dan kemitraan berbagai pihak, kearifan lokal dapat terus hidup dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Upaya-upaya ini tidak hanya membantu menjaga identitas budaya dan keberagaman, tetapi juga mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Minggu, 14 Februari 2021

Tantangan yang Dihadapi Kearifan Lokal

Kearifan lokal menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan beragam di era modern ini. Salah satu tantangan terbesar adalah arus globalisasi dan modernisasi yang membawa masuk budaya dan nilai-nilai baru yang sering kali berbeda atau bahkan bertentangan dengan kearifan lokal. Teknologi dan media massa memudahkan penyebaran budaya global, yang dapat mengakibatkan erosi budaya lokal. Generasi muda, khususnya, cenderung lebih tertarik pada budaya populer global dan kurang menghargai tradisi dan nilai-nilai lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Urbanisasi yang cepat juga menjadi tantangan signifikan bagi kearifan lokal. Migrasi besar-besaran dari pedesaan ke kota mengakibatkan terputusnya transmisi pengetahuan dan tradisi lokal. Di kota, orang cenderung meninggalkan praktik-praktik tradisional yang dianggap tidak relevan dengan kehidupan modern. Hal ini mengakibatkan hilangnya pengetahuan lokal yang berharga dan mengurangi praktik-praktik budaya yang telah berlangsung lama. Selain itu, perubahan iklim dan degradasi lingkungan juga mengancam kearifan lokal, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Banyak praktik tradisional yang berakar pada kondisi lingkungan tertentu menjadi tidak relevan atau tidak dapat dilakukan lagi akibat perubahan ekologis.

Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung atau bahkan mengabaikan kearifan lokal dapat menjadi hambatan serius. Beberapa kebijakan pembangunan cenderung lebih mengutamakan pendekatan modern dan teknologi tinggi, tanpa mempertimbangkan nilai dan praktik lokal yang berkelanjutan. Selain itu, kurangnya pengakuan hukum terhadap hak-hak adat dan pengetahuan lokal dapat melemahkan posisi masyarakat lokal dalam mempertahankan tradisi mereka. Banyak kearifan lokal yang hanya disampaikan secara lisan dan tidak terdokumentasi dengan baik, membuat pengetahuan tersebut rentan hilang seiring dengan meninggalnya para tetua atau tokoh masyarakat yang menyimpan pengetahuan tersebut.

Sistem pendidikan formal sering kali tidak memberikan ruang yang cukup untuk pengajaran kearifan lokal. Kurikulum yang lebih berfokus pada pengetahuan global dan modernisasi dapat membuat generasi muda kurang mengenal dan menghargai warisan budaya mereka sendiri. Pendidikan yang tidak inklusif terhadap kearifan lokal mengakibatkan minimnya pemahaman dan apresiasi terhadap nilai-nilai tradisional. Perubahan sosial yang cepat, termasuk perubahan dalam struktur keluarga dan peran gender, juga mempengaruhi kearifan lokal. Misalnya, urbanisasi dan perubahan dalam ekonomi rumah tangga sering kali mengurangi waktu dan kesempatan bagi generasi muda untuk belajar dan mempraktikkan tradisi dari orang tua atau komunitas mereka.

Kearifan lokal menghadapi berbagai tantangan yang dapat mengancam kelestariannya. Namun, dengan kesadaran dan upaya bersama dari semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun lembaga-lembaga terkait, tantangan-tantangan ini dapat diatasi. Pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan dalam mempromosikan dan melestarikan kearifan lokal sangat penting untuk menjaga warisan budaya yang berharga ini tetap hidup dan relevan di masa depan. Upaya pelestarian dan pendidikan yang lebih inklusif dapat membantu menjaga keanekaragaman budaya dan kearifan lokal agar terus diwariskan kepada generasi mendatang.

Kamis, 14 Januari 2021

Elemen-Elemen Kearifan Lokal

1. Pengetahuan Tradisional

Pengetahuan tradisional mencakup informasi dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi tentang cara-cara hidup yang berkelanjutan dan harmonis dengan lingkungan alam. Ini termasuk pengetahuan tentang pertanian, perikanan, pengobatan, arsitektur, dan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, teknik irigasi subak di Bali atau metode pertanian tumpang sari di Jawa adalah bentuk pengetahuan tradisional yang telah terbukti efektif dan berkelanjutan.

2. Sistem Nilai dan Etika

Sistem nilai dan etika dalam kearifan lokal berfungsi sebagai pedoman moral dan sosial bagi masyarakat. Ini mencakup nilai-nilai seperti gotong royong (kerja sama), kebersamaan, hormat kepada alam, dan keseimbangan hidup. Sistem nilai ini membantu membentuk perilaku individu dan komunitas, serta menciptakan norma-norma sosial yang mendukung harmoni dan kesejahteraan bersama.

3. Adat Istiadat dan Ritual

Adat istiadat dan ritual adalah praktik-praktik budaya yang dilakukan dalam rangka memperingati peristiwa penting, menghormati leluhur, dan menjaga hubungan harmonis dengan alam. Contoh adat istiadat adalah upacara Ngaben di Bali, tradisi Ma'nene di Toraja, atau perayaan Tabuik di Pariaman. Ritual-ritual ini mengandung makna spiritual dan simbolis yang mendalam, serta berfungsi untuk memperkuat identitas budaya dan solidaritas komunitas.

4. Seni dan Budaya

Seni dan budaya lokal mencakup berbagai bentuk ekspresi kreatif seperti tarian, musik, kerajinan tangan, cerita rakyat, dan arsitektur tradisional. Seni dan budaya ini tidak hanya mencerminkan keindahan estetika, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan historis yang penting. Misalnya, batik di Jawa atau ukiran Dayak di Kalimantan adalah bentuk seni yang kaya akan simbolisme dan makna budaya.

5. Bahasa dan Sastra

Bahasa dan sastra adalah alat utama untuk mentransmisikan kearifan lokal dari generasi ke generasi. Melalui bahasa, pengetahuan, nilai-nilai, dan tradisi dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan. Cerita rakyat, mitos, legenda, dan prosa tradisional adalah contoh bagaimana bahasa dan sastra digunakan untuk menjaga dan menyebarkan kearifan lokal. Bahasa daerah juga memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya dan keberagaman linguistik.

6. Teknologi dan Praktik Tradisional

Teknologi dan praktik tradisional mencakup metode-metode yang dikembangkan oleh masyarakat lokal untuk memecahkan masalah sehari-hari dan memenuhi kebutuhan mereka. Ini bisa berupa teknik bertani, cara membuat alat-alat, sistem irigasi, atau metode bangunan. Praktik seperti sistem pertanian ladang berpindah, tenun ikat, atau penggunaan tumbuhan obat adalah contoh teknologi tradisional yang kaya akan pengetahuan ekologis dan praktis.

7. Struktur Sosial dan Kepemimpinan

Struktur sosial dan kepemimpinan dalam masyarakat tradisional sering kali berbasis pada kearifan lokal. Sistem kepemimpinan adat, seperti kepala suku, pemangku adat, atau tetua masyarakat, memainkan peran penting dalam menjaga dan mengelola kearifan lokal. Mereka bertanggung jawab untuk memelihara tradisi, menyelesaikan konflik, dan membuat keputusan yang berhubungan dengan kesejahteraan komunitas.

Selasa, 08 Desember 2020

Sejarah Singkat Perkembangan al-Hadis

 Para muhadditsin membagi perkembangan hadis itu kepada tujuh periode, yaitu:

a.   Periode wahyu dan pembentukan hukum (masa Nabi: 13 SH 10 H).

Pada periode ini, Nabi melarang menulis hadis secara umum, karena dikhawatirkan terjadinya percampuran antara al-Qur'an dengan hadis (pendapat umum). Menurut Dr. Quraisy Shihab, M.A., larangan tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas dan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menulis, serta kurangnya sahabat yang dapat menulis. Nabi hanya memperkenankan menulis hadis secara pribadi bagi Abdullah Ibn Amr Ibn Hazm.

b.   Periode pembatasan riwayat (masa al-Khulafa al-rasyidin : 11 – 40 H).

Pembatasan riwayat (kisah israiliyat) dilakukan oleh para sahabat Nabi waktu itu, guna mencegah kemungkinan timbulnya hadis palsu, sedangkan perhatian mereka difokuskan kepada kodifikasi al-Qur'an.

c.   Periode pencarian hadis (masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda: 41-akhir abad I H).

Pada masa ini ekspansi kekuasaan Islam sangat meluas, sehingga umat Islam banyak menghadapi persoalan baru yang belum tegas dalam al-Qur'an, karena itu hadis Nabi sangat dibutuhkan untuk mendampingi al-Qur'an, maka sahabat-sahabat muda berupaya untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi sebagai langkah awal kodifikasi hadis pada periode berikutnya.

d.   Periode kodifikasi atau pembukuan hadis (permulaan abad II H).

Hadis-hadis yang berhasil dikumpulkan pada periode sebelumnya, kemudian dikodifikasi pada periode ini atas inisiatif  Umar Ibn  Abd al-Azi, khalifah yang kedelapan dari Dinasti Umayyah.

e.   Periode penyaringan dan seleksi hadis (awal abad III H sampai selesai)

Masa ini merupakan masa keemasan dari perkembangan hadis Nabi, karena pada masa inilah munculnya berbagai disiplin ilmu hadis, dan munculnya hadis-hadis Nabi yang dapat dijadikan hujjah (dalil) serta hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagai hasil ijtihad dari pada ulama hadis. Berbagai kitab hadis telah berhasil disusun oleh ulama selektor hadis pada masa ini, misalnya: kitab al-shahihain, rawah al-khamsah, kutub al-sittah dan  rawah al-sab`ah, dan seba-gainya.

f.    Periode penyusunan kitab-kitab koleksi hadis (awal abad IV H sampai jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H atau 1258 M.)

g.   Periode pembuatan kitab syarah dan takhrij hadis serta penyusunan kitab-kitab koleksi hadis yang lebih umum, yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis dan fiqh sesudah jatuhnya Bagdad (656 H) sampai masa renaissance dalam pemikiran ajaran Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang ini.

Senin, 07 Desember 2020

Perbedaan al-Qur`an dan Hadis sebagai Sumber Hukum

Walaupun al-Qur'an dan hadis sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut:

a.  Al-Qur'an adalah qath'i (mutlak) nilai kebenarannya, sedangkan hadis adalah dhanni (relatif), kecuali hadis mutawatir.

b.   Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, sedangkan hadis tidak seluruhnya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup; karena di samping ada hadis yang tasyri ada juga hadis yang ghairu tasyri, di samping ada hadis yang shahih ada pula hadis yang dha`if dan seterusnya.

c.   Al-Qur'an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya, sedangkan hadis tidak.

d.  Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang gaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi, tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadis.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, maka penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur'an hendaknya didasarkan atas keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaannya terhadap hadis harus didasarkan atas keragu-raguan (dugaan-dugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah hadis itu betul berasal dari Nabi atau tidak, karena adanya proses sejarah kodifikasi hadis yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan, sebagaimana jaminan keyakinan terhadap  al-Qur'an.

(dari berbagai sumber)

 

 

Sabtu, 05 Desember 2020

Hubungan al-Sunnah dengan al-Qur'an

Dalam hubungannya dengan al-Qur`an maka al-Sunnah berfungsi sebagai berikut:

  • Bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits: Shalluw kama raaitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat), adalah merupakan tafsiran daripada ayat-ayat al-Quran yang umum, yaitu Aqimuw al-shalah (kerjakanlah shalat).
  • Bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur'an. Seperti Hadis yang berbunyi: Shuwmuw li ru`yatihi wa afthiruw li ru`yathi (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur`an surah al-Baqarah (2):185).
  • Bayan tawdhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur`an, seperti pernyataan Nabi: Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati; adalah tawdhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur`an dalam surah al-Taubah (9): 34. 

Jumat, 04 Desember 2020

Kedudukan al-Sunnah

Al-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-Qur'an. Setiap orang yang beriman kepada al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus pula beriman kepada al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam juga. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang dapat dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, misalnya:

a.   Setiap mukmin harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S.al-Nisa, (4):59).

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوۤا اَطِيْـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى الاَمْرِ مِنْكُم، فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْـتُم تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَاليَـوْمِ الاٰخِرِ‌ ذٰ لِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَاوِيْلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

 b.   Kepatuhan kepada Rasul berarti   patuh dan cinta kepada Allah (Q.S. Ali Imran, (3): 31).

قُلْ اِنكُنتُم تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُم ذُنُوْبَكُم‌ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 c.   Orang yang menyalahi sunnah akan mendapatkan siksa (Q.S. al-Anfal, (8): 13).

ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ شَاقُّواْ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ‌ وَمَنْ يُّشَاقِقِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهْ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh, Allah sangat keras siksaNya.

d.   Berhukum dengan Sunnah adalah ciri orang yang beriman (Q.S. al-Nisa, (4): 65).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُم ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِىۤ اَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Apabila Sunnah/Hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan sebagai berikut:

a.   Kesulitan dalam melaksanakan shalat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya; karena ayat-ayat al-Qur'an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah/Hadis.

b.   Kesulitan dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya, yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya; karena apabila penafsiran terhadap ayat-ayat seperti itu hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio, maka akan melahirkan penafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c.  Kesulitan dalam hal mengikuti pola hidup Nabi, karena pola hidup Nabi hanya dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya. Pada hal kewajiban mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur'an.

d.   Kesulitan dalam hal menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah/Hadis yang tidak ada dalam al-Qur'an, seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, yang dalam al-Qur'an bangkai itu haram.