Rabu, 01 Januari 2020

Pembagian dan Ciri-ciri agama

Pembagian Agama

Dilihat dari segi sumbernya, maka agama secara keseluruhan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

  • Agama wahyu (agama samawi) yaitu : agama yang berasal dari Allah, disampaikan kepada  manusia melalui para Nabi dan Rasul-Nya. 
  • Agama Budaya (agama wadh’i), yaitu agama yang bersumberkan pada hasil pemikiran manusaia dalam membuat respos terhadap tantangan alam melalui upacara-upacara tertentu. 


Ciri-ciri agama wahyu adalah :

  • Secara pasti dapat diketahui kapan lahirnya, sesuai dengan kehadiran nabi/Rasul  yang membawanya.
  • Disampaikan oleh seorang manusia yang dipilih oleh Allah sebagai Nabi/Rasul-Nya.
  • Memiliki kitab suci sebagai pedoman yang bersih dari campur tangan manusia.
  • Ajarannya serba tetap, tetapi tafsirannya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan penganutnya.
  • Konsep ketuhanannya adalah tauhid (Monoteisme mutlak)
  • Kebenarannya bersfat universal, yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.


Ciri-ciri agama budaya adalah :

  • Tumbuh secara kumalatif dalam masyarakat penganutnya.
  • Tidak disampaikan oleh seorang Nabi/Rasul Allah.
  • Umumnya tidak memiliki kitab suci, kalaupun ada, akan mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
  • Ajarannya  dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal fikiran masyarakatnya (penganutnya),
  • Konsep ketuhanan adalah dinamisme, animisme, politeisme, honoteisme dan paling tinggi monoteisme nisbi.
  • Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.


Selasa, 17 Desember 2019

Maccera Manu di Desa Meli, Tamat Mengaji

Maccera’ manu' adalah pemotongan ayam atau sebuah tanda atau ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada guru mengaji dan rasa Syukur Kepada Allah swt.
Di desa Meli Masamba - Luwu Utara memiliki kearifan lokal yang begitu banyak salah satunya ialah kata maccera’ yang dimana maccera’ merupakan sebuah tradisi yang harus dijalankan atau dilaksanakan karena ketika seseorang yang sudah tammat mengaji biasanya ada ritual memotong pial atau jengger yang ada di bagian kepala ayam yang dimana darahnya di pake dengan cara menggunakan ibu jari, darah ayam tersebut kita tempelkan ke ibu jari orang yang sedang maccera’ kemudian darah yang ada di ibu jari kita tempelkan ke alqur’an bagian tengah tepatnya surah al-isra yang dimana bunyinya wal ya ta lattaf. Tepat di bagian itu darah ayam di tempelkan, dan yang menempelkan darah ayam tersebut yaitu guru mengaji kita kemudian sang guru mengaji menyuruh muridnya membaca doa khatam al-Qur’an itu pertanda bahwa orang tersebut sudah benar-benar menyelesaikan bacaannya  ketika maccera’ sudah di lakukan seseorang tersebut sudah di nyatakan telah tammat mengaji kemudian selanjutnya mengadakan acara syukuran dan acara ini harus dilakukan di rumah sang guru mengaji dimana ayam yang sudah di gunakan maccera’ kemudian dipotong untuk dimakan bersama keluarga, acara sukuran ini biasanya dihadiri oleh keluarga terutama teman sepengajian.
Di desa Meli Maccera’ sudah dilakukan secara turun temurun karena ini merupakan rasa syukur karena seseorang telah dikatakan mengkhatam al-Qur’an oleh karenanya wajib melakukan syukuran. Sehingga pada saat ini maccera masih dilakukan karena itu dianggap baik oleh kebanyakan masyarakat Meli.

Senin, 02 Desember 2019

Studi Islam

 Dirasah Islamiyah atau Studi Keislaman (Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya mapun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Usaha mempelajari agama Islam tersebut kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda dengan tujuan studi Keislaman yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

Para ahli studi ke-Islaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal sebagai kaum orientalis, yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di dalamnya dunia Islam. Dalam prakteknya studi ke-Islaman yang dilakukan oleh mereka, terutama masa awal-awal mereka mengadakan studi tentang Islam, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktek-praktek pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan-sehari-hari umat Islam. Namun demikian, banyak juga diantara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang obyektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri.

Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah “masa keemasan Islam” dan umat Islam sudah memasuki “masa kemunduruannya”) bahwa pendekatan studi ke-Islaman yang mendominasi kalangan ulama Islam lebih cenderung bersifat subyektif, apologis dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan oleh kalangan luar Islam yang bersifat obyektif dan rasional. Dengan pendekatan subyektif apologis dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang sumber dasarnya adalah al-Qur'an dan al-Sunnah yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan zaman – telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan akal/rasional dan tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan keagamaan serta sosial budaya umat Islam terkesan mandeg, membeku dan ketinggalan zaman. Dan celakanya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran atau obyek studi dari kaum orientalist dalam studi keIslamannya. Dengan pendekatan yang bersifat obyektif rasional atau pendekatan ilmiah, mereka mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ajaran agama Islam sebagaimana yang nampak dalam fenomena dan praktek umatnya ternyata tidak rasional dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.

Dengan adanya kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para ulama tersebut untuk bersikap obyektif dan terbuka terhadap pandangan dari luar, yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan obyektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri. Dengan masuknya pendekatan tersebut, maka studi keIslaman semakin berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam, terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin canggih dan era globalisasi saat ini. (dari berbagai sumber)

Minggu, 01 Desember 2019

METODOLOGI DAN PEMAHAMAN ISLAM

Sejak Kedatangan Islam pada abad ke13 M hingga saat ini, fenomena pemahaman keIslaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat fariatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannnya

Kita misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya tentang ke-Islaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka bisanya datang dari kalangan ulama yang belajar ilmu keislaman secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam satu acuan yang sama semacam kurikulum. Akibat dari keadaan demikian, maka yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya itu, dan karena mereka tidak dapat ditugaskan mengajar di Perguruan Tinggi misalnya, lantaran pengajaran Ke-Islaman di Perguruan Tinggi biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasian sebagaimana diatur dalam kurikulum dan silabus.

Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang elasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Kita melihat bahwa ilmu fiqhi misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah yang ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma ilmu fiqhi. Ketika kepadanya ditanyakan tentang bagaimana cara mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka jawabannya adalah dengan cara memusnahkan tempat-tempat pelacuran tersebut, karena dianggap sebagai tempat maksiat. Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang memerlukan ketetapan hukumnya melainkan juga masalah ketenaga kerjaan, kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perekonomian, dan sebagainya, yang dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.

Pada tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona masyarakat adalah ilmu kalam (teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu teologi yang dipelajarinya pun berpusat pada Asy'ariyah dan Maturidiyah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap sebagai sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan, saling menghargai dan sebagainya.

Setelah itu muncul pula paham keIslaman bercorak tasawuf yang sudah mengambil bentuk tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat, sedangkan urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan ummat menjadi mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas hidup lainnya.

Dari beberapa contoh tentang pemahaman keislaman tersebut di atas kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Isam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semuanya itu berlum tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat Islam.

Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan dibidang metodologi sehingga pengetahuanyang dimiliki dapat dikembangkan.

Dari berbagai sumber