Kearifan lokal memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat multikultural, terutama sebagai sarana dakwah. Di Indonesia, dengan keberagaman suku, agama, dan budaya, kearifan lokal dapat menjadi jembatan yang efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Misalnya, penggunaan bahasa dan simbol-simbol lokal dalam ceramah dan pengajaran agama dapat membuat pesan-pesan dakwah lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat setempat (Hidayat, Kearifan Lokal dalam Dakwah Islam, 2018/23).
Salah satu contoh konkret adalah penggunaan kesenian
tradisional seperti wayang kulit di Jawa sebagai media dakwah. Ki Hajar
Dewantara, seorang tokoh pendidikan, pernah menggunakan wayang kulit untuk
menyampaikan nilai-nilai moral dan ajaran Islam. Dengan cara ini, pesan dakwah
dapat diterima dengan baik tanpa menimbulkan resistensi budaya (Suryadinata, Wayang
Kulit sebagai Media Dakwah, 2019/45).
Di Bali, meskipun mayoritas penduduknya beragama
Hindu, komunitas Muslim menggunakan pendekatan kultural dalam berdakwah. Mereka
mengintegrasikan unsur-unsur budaya Bali dalam kegiatan keagamaan mereka,
seperti penggunaan gamelan dalam acara-acara keagamaan. Hal ini tidak hanya
memudahkan penerimaan dakwah tetapi juga memperkuat hubungan sosial antara
komunitas Muslim dan Hindu (Wijaya, Pendekatan Kultural dalam Dakwah Islam
di Bali, 2020/57).
Di Sumatera Barat, falsafah Minangkabau Adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah mencerminkan bagaimana adat dan syariah dapat
berjalan beriringan. Dakwah di kalangan masyarakat Minang dilakukan dengan
memperhatikan nilai-nilai adat yang kuat, sehingga pesan-pesan Islam
disampaikan tanpa menghilangkan kearifan lokal yang sudah ada. Ini menunjukkan
bahwa dakwah dapat berjalan efektif ketika dilakukan dengan menghormati dan
mengintegrasikan kearifan lokal (Nurhasanah, Adat dan Syariah dalam Dakwah
Islam di Minangkabau, 2017/68).
Di Kalimantan, suku Dayak yang memeluk Islam tetap
mempertahankan beberapa tradisi mereka seperti upacara adat balian. Pendakwah
di daerah ini menggunakan pendekatan inklusif dengan tidak menghapus tradisi
tersebut, tetapi mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dakwah
menjadi proses yang lebih harmonis dan diterima dengan baik oleh masyarakat
(Mulyadi, Islam dan Kearifan Lokal Suku Dayak, 2021/77).
Dalam masyarakat Bugis-Makassar, nilai-nilai kearifan
lokal seperti "siri' na pacce" (harga diri dan solidaritas) juga
dimanfaatkan dalam dakwah. Pendakwah menekankan bahwa ajaran Islam mendukung
dan memperkuat nilai-nilai tersebut, sehingga masyarakat dapat merasakan bahwa
Islam tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka. Hal ini memperkuat
penerimaan dan pemahaman terhadap ajaran Islam (Amiruddin, Dakwah Islam
dalam Budaya Bugis-Makassar, 2018/81).
Di Nusa Tenggara Timur, pendekatan dakwah melalui
kearifan lokal juga sangat efektif. Di daerah ini, dakwah dilakukan dengan
menggunakan bahasa daerah dan melibatkan tokoh adat dalam kegiatan keagamaan.
Pendekatan ini menunjukkan penghormatan terhadap budaya lokal dan membuat
pesan-pesan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat (Fitriani, Dakwah
melalui Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Timur, 2019/92).
Pendekatan dakwah yang memanfaatkan kearifan lokal
juga terlihat di Papua. Komunitas Muslim di Papua menggabungkan tarian dan
musik tradisional dalam perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul
Adha. Ini tidak hanya memperkuat identitas budaya lokal tetapi juga membuat
dakwah menjadi lebih inklusif dan diterima oleh masyarakat yang multikultural
(Arifin, Dakwah Islam di Papua: Pendekatan Budaya Lokal, 2021/105).
Pentingnya kearifan lokal dalam dakwah juga didukung
oleh berbagai penelitian. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Liliweri (2020)
menunjukkan bahwa pendekatan dakwah yang menghormati dan memanfaatkan kearifan
lokal lebih efektif dalam membangun harmoni sosial dan memperkuat penerimaan
terhadap ajaran Islam. Penelitian ini menunjukkan bahwa dakwah yang mengabaikan
kearifan lokal cenderung menghadapi resistensi dan tidak efektif (Liliweri, Efektivitas
Dakwah melalui Kearifan Lokal, 2020/112).
Secara keseluruhan, kearifan lokal sebagai sarana
dakwah dalam masyarakat multikultural menunjukkan bahwa Islam dapat disampaikan
dengan cara yang menghormati dan mengintegrasikan budaya lokal. Pendekatan ini
tidak hanya memperkuat penerimaan terhadap ajaran Islam tetapi juga memperkaya
budaya lokal itu sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa ketika dakwah dilakukan
dengan cara yang inklusif dan menghargai kearifan lokal, hasilnya adalah
harmoni sosial dan penerimaan yang lebih luas terhadap nilai-nilai Islam (Hakim,
Islam dan Kearifan Lokal: Sejarah dan Dinamika Dakwah, 2019/98).