Selasa, 17 Desember 2019
Maccera Manu di Desa Meli, Tamat Mengaji
Senin, 02 Desember 2019
Studi Islam
Dirasah Islamiyah atau Studi Keislaman (Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan lain usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya mapun praktek-praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda dengan tujuan studi Keislaman yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of life). Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi Ke-Islaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan. Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk beluk agama dan praktek-praktek keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Para ahli studi ke-Islaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal sebagai kaum orientalis, yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di dalamnya dunia Islam. Dalam prakteknya studi ke-Islaman yang dilakukan oleh mereka, terutama masa awal-awal mereka mengadakan studi tentang Islam, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktek-praktek pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan-sehari-hari umat Islam. Namun demikian, banyak juga diantara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang obyektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi ke-Islaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah “masa keemasan Islam” dan umat Islam sudah memasuki “masa kemunduruannya”) bahwa pendekatan studi ke-Islaman yang mendominasi kalangan ulama Islam lebih cenderung bersifat subyektif, apologis dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan oleh kalangan luar Islam yang bersifat obyektif dan rasional. Dengan pendekatan subyektif apologis dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang sumber dasarnya adalah al-Qur'an dan al-Sunnah yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan zaman – telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sentuhan akal/rasional dan tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan keagamaan serta sosial budaya umat Islam terkesan mandeg, membeku dan ketinggalan zaman. Dan celakanya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran atau obyek studi dari kaum orientalist dalam studi keIslamannya. Dengan pendekatan yang bersifat obyektif rasional atau pendekatan ilmiah, mereka mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ajaran agama Islam sebagaimana yang nampak dalam fenomena dan praktek umatnya ternyata tidak rasional dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budaya Islam, mendorong para ulama tersebut untuk bersikap obyektif dan terbuka terhadap pandangan dari luar, yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional dan obyektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keIslaman di kalangan umat Islam sendiri. Dengan masuknya pendekatan tersebut, maka studi keIslaman semakin berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam, terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin canggih dan era globalisasi saat ini. (dari berbagai sumber)
Minggu, 01 Desember 2019
METODOLOGI DAN PEMAHAMAN ISLAM
Sejak Kedatangan Islam pada abad ke13 M hingga saat ini, fenomena pemahaman keIslaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat fariatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannnya
Kita misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya tentang ke-Islaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka bisanya datang dari kalangan ulama yang belajar ilmu keislaman secara otodidak atau kepada berbagai guru yang antara satu dan lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam satu acuan yang sama semacam kurikulum. Akibat dari keadaan demikian, maka yang bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya itu, dan karena mereka tidak dapat ditugaskan mengajar di Perguruan Tinggi misalnya, lantaran pengajaran Ke-Islaman di Perguruan Tinggi biasanya menuntut keteraturan dan pengorganisasian sebagaimana diatur dalam kurikulum dan silabus.
Selanjutnya
kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang
keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman
lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap
sebagai ilmu yang elasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Kita
melihat bahwa ilmu fiqhi misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan
perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah yang
ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma ilmu fiqhi. Ketika kepadanya
ditanyakan tentang bagaimana cara mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka jawabannya
adalah dengan cara memusnahkan tempat-tempat pelacuran tersebut, karena
dianggap sebagai tempat maksiat. Padahal cara tersebut tidak akan memecahkan
masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang
memerlukan ketetapan hukumnya melainkan juga masalah ketenaga kerjaan,
kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perekonomian, dan sebagainya, yang
dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada
tahap berikutnya, pernah pula yang menjadi primadona masyarakat adalah ilmu
kalam (teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari
paradigma teologi. Lebih dari itu teologi yang dipelajarinya pun berpusat pada
Asy'ariyah dan Maturidiyah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap sebagai
sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan,
saling menghargai dan sebagainya.
Setelah
itu muncul pula paham keIslaman bercorak tasawuf yang sudah mengambil bentuk
tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan
duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf ini, kehidupan dunia terkesan
diabaikan. Umat terlalu mementingkan urusan akhirat, sedangkan urusan dunia
menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan ummat menjadi mundur dalam bidang
keduniaan, materi dan fasilitas hidup lainnya.
Dari
beberapa contoh tentang pemahaman keislaman tersebut di atas kita dapat
memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Isam yang terjadi di
masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan
sekalipun kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan
komprehensif, namun semuanya itu berlum tersosialisasikan secara merata ke
seluruh masyarakat Islam.
Sabtu, 14 September 2019
Kearifan Lokal Blog
Arti Kearifan Lokal
Sering Kita bertanya Apa sesungguhnya makna atau arti kearifan lokal. Pertanyaan ini sering muncul di kalangan masyarakat. Dapat dipahami bahwa Secara umum pengertian Kearifan Lokal adalah Gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik, yang diyakini dan diikuti oleh masyarakat di daerah tersebut dan diikuti secara turun temurun. Kearifan lokal juga dapat berarti sebagai tradisi atau kebiasaan yang telah melekat dalam lingkungan masyarakat dan telah menjadi ciri khas daerah tersebut, diakui oleh masyarakat luas dan diwarisi secara turun temurun.
Contoh kearifan lokal.
Pada masyarakat bugis dalam pembagian warisan, menggunakan istilah malleppi' lipa'. Kata malleppi' lipa' bahasa bugis yang berarti melipat sarung. melipat sarung biasa sama dan rata dari semua sisi. Begitu juga kearifan lokal di sebagian masyarakat bugis bahwa pembagian warisan kepada ahli waris harus sama rata sama rasa.