Rabu, 14 Desember 2022

Kearifan Lokal sebagai Sarana Dakwah dalam Masyarakat Multikultural

Kearifan lokal memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat multikultural, terutama sebagai sarana dakwah. Di Indonesia, dengan keberagaman suku, agama, dan budaya, kearifan lokal dapat menjadi jembatan yang efektif untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Misalnya, penggunaan bahasa dan simbol-simbol lokal dalam ceramah dan pengajaran agama dapat membuat pesan-pesan dakwah lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat setempat (Hidayat, Kearifan Lokal dalam Dakwah Islam, 2018/23).

Salah satu contoh konkret adalah penggunaan kesenian tradisional seperti wayang kulit di Jawa sebagai media dakwah. Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan, pernah menggunakan wayang kulit untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan ajaran Islam. Dengan cara ini, pesan dakwah dapat diterima dengan baik tanpa menimbulkan resistensi budaya (Suryadinata, Wayang Kulit sebagai Media Dakwah, 2019/45).

Di Bali, meskipun mayoritas penduduknya beragama Hindu, komunitas Muslim menggunakan pendekatan kultural dalam berdakwah. Mereka mengintegrasikan unsur-unsur budaya Bali dalam kegiatan keagamaan mereka, seperti penggunaan gamelan dalam acara-acara keagamaan. Hal ini tidak hanya memudahkan penerimaan dakwah tetapi juga memperkuat hubungan sosial antara komunitas Muslim dan Hindu (Wijaya, Pendekatan Kultural dalam Dakwah Islam di Bali, 2020/57).

Di Sumatera Barat, falsafah Minangkabau Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah mencerminkan bagaimana adat dan syariah dapat berjalan beriringan. Dakwah di kalangan masyarakat Minang dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai adat yang kuat, sehingga pesan-pesan Islam disampaikan tanpa menghilangkan kearifan lokal yang sudah ada. Ini menunjukkan bahwa dakwah dapat berjalan efektif ketika dilakukan dengan menghormati dan mengintegrasikan kearifan lokal (Nurhasanah, Adat dan Syariah dalam Dakwah Islam di Minangkabau, 2017/68).

Di Kalimantan, suku Dayak yang memeluk Islam tetap mempertahankan beberapa tradisi mereka seperti upacara adat balian. Pendakwah di daerah ini menggunakan pendekatan inklusif dengan tidak menghapus tradisi tersebut, tetapi mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dakwah menjadi proses yang lebih harmonis dan diterima dengan baik oleh masyarakat (Mulyadi, Islam dan Kearifan Lokal Suku Dayak, 2021/77).

Dalam masyarakat Bugis-Makassar, nilai-nilai kearifan lokal seperti "siri' na pacce" (harga diri dan solidaritas) juga dimanfaatkan dalam dakwah. Pendakwah menekankan bahwa ajaran Islam mendukung dan memperkuat nilai-nilai tersebut, sehingga masyarakat dapat merasakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan kearifan lokal mereka. Hal ini memperkuat penerimaan dan pemahaman terhadap ajaran Islam (Amiruddin, Dakwah Islam dalam Budaya Bugis-Makassar, 2018/81).

Di Nusa Tenggara Timur, pendekatan dakwah melalui kearifan lokal juga sangat efektif. Di daerah ini, dakwah dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah dan melibatkan tokoh adat dalam kegiatan keagamaan. Pendekatan ini menunjukkan penghormatan terhadap budaya lokal dan membuat pesan-pesan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat (Fitriani, Dakwah melalui Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Timur, 2019/92).

Pendekatan dakwah yang memanfaatkan kearifan lokal juga terlihat di Papua. Komunitas Muslim di Papua menggabungkan tarian dan musik tradisional dalam perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Ini tidak hanya memperkuat identitas budaya lokal tetapi juga membuat dakwah menjadi lebih inklusif dan diterima oleh masyarakat yang multikultural (Arifin, Dakwah Islam di Papua: Pendekatan Budaya Lokal, 2021/105).

Pentingnya kearifan lokal dalam dakwah juga didukung oleh berbagai penelitian. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Liliweri (2020) menunjukkan bahwa pendekatan dakwah yang menghormati dan memanfaatkan kearifan lokal lebih efektif dalam membangun harmoni sosial dan memperkuat penerimaan terhadap ajaran Islam. Penelitian ini menunjukkan bahwa dakwah yang mengabaikan kearifan lokal cenderung menghadapi resistensi dan tidak efektif (Liliweri, Efektivitas Dakwah melalui Kearifan Lokal, 2020/112).

Secara keseluruhan, kearifan lokal sebagai sarana dakwah dalam masyarakat multikultural menunjukkan bahwa Islam dapat disampaikan dengan cara yang menghormati dan mengintegrasikan budaya lokal. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat penerimaan terhadap ajaran Islam tetapi juga memperkaya budaya lokal itu sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa ketika dakwah dilakukan dengan cara yang inklusif dan menghargai kearifan lokal, hasilnya adalah harmoni sosial dan penerimaan yang lebih luas terhadap nilai-nilai Islam (Hakim, Islam dan Kearifan Lokal: Sejarah dan Dinamika Dakwah, 2019/98).