Islam telah lama berinteraksi dengan berbagai budaya lokal di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali masuk ke Nusantara, Islam tidak hanya berfungsi sebagai agama tetapi juga beradaptasi dengan tradisi dan kearifan lokal yang ada. Misalnya, penyebaran Islam di Jawa melalui Wali Songo menunjukkan bagaimana para wali menggunakan seni dan budaya lokal untuk menyebarkan ajaran Islam. Mereka memadukan ajaran Islam dengan wayang dan gamelan, sehingga masyarakat dapat menerima ajaran baru ini tanpa merasa terancam oleh hilangnya budaya mereka sendiri (Fauzi Yahya, Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara, 2015/34).
Interaksi antara Islam dan kearifan lokal juga
terlihat dalam adat-istiadat yang berkembang di berbagai daerah. Di Aceh,
misalnya, tradisi kenduri sebagai bentuk syukur dan doa bersama telah ada
sebelum Islam masuk. Ketika Islam datang, tradisi ini tidak hilang, tetapi
justru diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam, seperti membaca doa dan zikir
bersama. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mampu beradaptasi dan memperkaya
tradisi lokal tanpa harus menghapusnya (Nurhayati, Islam dan Adat Aceh,
2017/57).
Di Sumatera Barat, konsep "Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah" menjadi dasar filosofi masyarakat Minangkabau.
Prinsip ini menggambarkan harmonisasi antara adat Minangkabau dengan ajaran
Islam. Adat dan syariat Islam saling melengkapi dan menguatkan, membentuk
tatanan sosial yang kokoh dan berkelanjutan. Konsep ini menunjukkan bahwa Islam
dan kearifan lokal dapat berjalan beriringan, saling mendukung dan memperkaya
(Ahmad Zahid, Adat Minangkabau dalam Perspektif Islam, 2018/88).
Selain itu, di daerah Bugis-Makassar, kearifan lokal
seperti siri' na pacce juga mengalami islamisasi. Nilai-nilai ini dijaga
dan dipertahankan dalam kerangka ajaran Islam, yang menekankan pentingnya
kehormatan dan kebersamaan. Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi agama
yang dipeluk secara spiritual, tetapi juga membentuk etika dan moral masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari (Hasanuddin, Islam dan Budaya Bugis-Makassar,
2019/102).
Di Bali, meskipun mayoritas penduduknya beragama
Hindu, ada komunitas Muslim yang telah berasimilasi dengan budaya lokal.
Komunitas ini, yang dikenal sebagai Islam Bali, telah mengembangkan tradisi
yang unik, seperti upacara keagamaan yang menggabungkan elemen-elemen Hindu dan
Islam. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam dapat beradaptasi dan hidup
berdampingan dengan kearifan lokal yang berbeda tanpa menimbulkan konflik (Siti
Aisyah, Islam Bali: Harmoni dalam Keberagaman, 2016/45).
Di daerah Ternate dan Tidore, Maluku Utara, Islam
masuk melalui jalur perdagangan dan hubungan diplomatik. Kearifan lokal seperti
upacara adat Kololi Kie yang melibatkan penghormatan kepada gunung dan laut
diintegrasikan dengan doa-doa Islami. Praktik-praktik ini memperlihatkan
bagaimana Islam dan kearifan lokal dapat saling melengkapi dan memperkaya
kehidupan spiritual masyarakat (Ridwan Ali, Islam dan Tradisi di Maluku
Utara, 2018/63).
Di Kalimantan, Suku Dayak yang telah memeluk Islam
tetap mempertahankan beberapa tradisi mereka seperti ritual adat balian yang
kini diwarnai dengan unsur-unsur Islam. Meskipun ada perubahan, inti dari
kearifan lokal tersebut tetap terjaga dan berfungsi sebagai penghubung antara
masa lalu dan masa kini. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat beradaptasi
tanpa kehilangan esensi dasarnya (Nurjanah, Transformasi Kearifan Lokal Suku
Dayak, 2020/72).
Selain itu, di Papua, meskipun mayoritas penduduknya
beragama Kristen, Islam hadir dengan cara yang unik. Komunitas Muslim di Papua
sering kali menggabungkan kearifan lokal seperti tarian dan musik tradisional
dalam perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Ini
menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mampu hidup berdampingan dengan tradisi
lokal tetapi juga memperkaya budaya setempat (Zainal Arifin, Islam dan
Budaya Papua, 2021/85).
Secara historis, adaptasi dan integrasi Islam dengan
kearifan lokal tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai
belahan dunia. Di Afrika, misalnya, Islam berinteraksi dengan budaya lokal
melalui tradisi-tradisi sufi yang menggabungkan ritual-ritual lokal dengan
ajaran Islam. Ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam beradaptasi dengan
lingkungan sosial-budaya yang berbeda, memperkaya dan diperkuat oleh kearifan
lokal (Salim Said, Islam dan Kearifan Lokal di Afrika, 2020/74).
Secara keseluruhan, hubungan antara Islam dan kearifan
lokal menunjukkan dinamika yang kompleks namun harmonis. Islam mampu
beradaptasi dengan berbagai tradisi lokal tanpa kehilangan identitasnya.
Sebaliknya, kearifan lokal dapat terus hidup dan berkembang dengan adanya
sentuhan Islam. Sejarah menunjukkan bahwa interaksi ini menciptakan sebuah
kebudayaan yang kaya dan beragam, memberikan kontribusi signifikan terhadap
identitas bangsa (Lukman Hakim, Islam dan Kearifan Lokal: Sejarah dan
Dinamika, 2019/98).