Toleransi adalah sikap menghormati dan menerima perbedaan, baik itu dalam hal agama, budaya, maupun pandangan hidup. Kearifan lokal, di sisi lain, merujuk pada pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam masyarakat lokal sebagai hasil dari interaksi panjang dengan lingkungan mereka. Kedua konsep ini saling berkaitan dan berperan penting dalam menciptakan harmoni sosial di masyarakat yang beragam.
Kearifan lokal sering kali mengandung nilai-nilai toleransi
yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai seperti gotong royong,
musyawarah, dan saling menghormati menjadi fondasi dalam interaksi sosial di
banyak komunitas tradisional. Misalnya, dalam tradisi gotong royong, anggota
masyarakat dari berbagai latar belakang bekerja sama tanpa memandang perbedaan
agama, suku, atau status sosial. Hal ini mencerminkan nilai toleransi yang kuat
dan penting dalam menjaga kohesi sosial (Geertz, Clifford. The Religion
of Java, 1960: 89-95).
Selain itu, kearifan lokal juga mempromosikan kerukunan
melalui adat istiadat dan upacara yang mengundang partisipasi semua anggota
komunitas. Contohnya, dalam tradisi slametan, semua anggota komunitas, tanpa
memandang latar belakang, diundang untuk berpartisipasi dalam doa bersama dan
makan bersama. Praktik semacam ini memperkuat ikatan sosial dan mengurangi
potensi konflik dengan menekankan persatuan dan kebersamaan. Sebagai hasilnya,
kearifan lokal tidak hanya menjaga tradisi budaya, tetapi juga memperkuat sikap
saling menghormati dan toleransi (Ricklefs, M.C., A History of Modern
Indonesia, 2008: 123-130).
Lebih jauh, kearifan lokal juga dapat berfungsi sebagai
mekanisme penyelesaian konflik yang mengedepankan dialog dan musyawarah. Banyak
komunitas tradisional memiliki sistem hukum adat yang menghargai perbedaan dan
mencari solusi damai dalam menyelesaikan perselisihan. Contoh dari ini adalah
sistem musyawarah yang melibatkan tokoh adat dan masyarakat. Pendekatan ini
memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihormati, menciptakan rasa keadilan
dan menghormati keragaman (Rahman, Fazlur., Major Themes of the Qur'an,
1980: 45-52).
Peran ulama atau pemuka agama juga penting dalam
mempromosikan toleransi melalui kearifan lokal. Mereka sering kali menjadi
jembatan antara ajaran agama dan nilai-nilai budaya lokal, mengajarkan bahwa
perbedaan adalah bagian dari rencana ilahi dan harus dihormati. Dengan
menekankan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan
persaudaraan, ulama membantu mengintegrasikan ajaran agama dengan
praktik-praktik lokal yang mendukung toleransi dan kerukunan. Misalnya, dalam
khotbah dan pengajaran, ulama dapat mengutip nilai-nilai agama yang mendorong
perdamaian dan menghormati perbedaan (Hefner, Robert W. Civil Islam: Muslims
and Democratization in Indonesia, 2000: 67-74).
Secara keseluruhan, toleransi dan kearifan lokal saling
mendukung dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan berimbang. Kearifan
lokal yang mengandung nilai-nilai toleransi membantu menjaga kerukunan sosial,
sementara toleransi memastikan bahwa perbedaan dihargai dan dihormati. Melalui
penguatan nilai-nilai ini, masyarakat dapat membangun lingkungan yang inklusif,
damai, dan berkelanjutan, di mana setiap individu merasa dihargai dan diterima.