Agama dan budaya merupakan dua aspek yang berbeda namun saling terkait erat dalam kehidupan manusia. Agama adalah ciptaan Tuhan yang memberikan pedoman hidup bagi umat manusia, sedangkan budaya adalah hasil dari kebiasaan dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai ciptaan manusia. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, agama sering kali dihubungkan dengan kebudayaan, sehingga sering terjadi kesalahpahaman dalam menempatkan posisi keduanya. Masyarakat kerap kali mencampuradukkan antara nilai-nilai agama dengan kebiasaan budaya yang sudah ada sebelumnya, menyebabkan perdebatan tentang mana yang seharusnya lebih dominan atau lebih diutamakan dalam praktik sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda asal usulnya, agama dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam konteks sosial dan keagamaan.
Sejak awal kemunculannya, Islam
tidak hadir dalam kekosongan budaya. Justru, kehadiran Islam di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia, selalu berinteraksi dengan budaya
setempat. Corak keislaman yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
budaya lokal yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Misalnya, banyak
tradisi dan upacara adat yang kemudian diberi makna baru sesuai dengan ajaran
Islam tanpa menghilangkan esensi budayanya. Fenomena ini menunjukkan betapa
lenturnya Islam dalam beradaptasi dengan berbagai konteks budaya lokal. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
konteks budaya yang melingkupinya, sehingga tercipta sebuah sintesis yang unik
antara ajaran agama dan praktik budaya lokal.
Hukum Islam memberikan apresiasi
terhadap budaya melalui konsep al-‘adah al-muhakkamah. Konsep ini
mengakui bahwa adat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Kaidah ini
memberikan sinyal bahwa budaya adalah bagian dari variabel sosial yang
mempunyai otoritas hukum. Dalam banyak kasus, hukum Islam di berbagai daerah
disesuaikan dengan budaya setempat selama tidak bertentangan dengan syariat.
Misalnya, dalam hal pernikahan, pembagian waris, atau penyelesaian sengketa,
sering kali digunakan pendekatan yang menghargai budaya lokal. Hal ini
membuktikan bahwa hukum Islam memiliki sifat yang fleksibel dan mampu
beradaptasi dengan berbagai kondisi sosial budaya yang berbeda-beda.
Islam memberikan ruang terhadap
budaya dan tidak memposisikannya sebagai faktor eksternal yang tidak
berimplikasi. Sebaliknya, budaya dianggap sebagai elemen penting yang dapat
berkontribusi dalam pembentukan hukum Islam yang relevan dengan konteks lokal.
Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan mampu berinteraksi
dengan berbagai dinamika sosial budaya yang ada di masyarakat. Fleksibilitas
hukum Islam ini memungkinkan terjadinya integrasi yang harmonis antara ajaran
agama dan nilai-nilai budaya lokal. Dengan demikian, Islam tidak hanya dilihat
sebagai agama yang kaku dan statis, tetapi juga sebagai agama yang mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan zaman tanpa menghilangkan
esensi dari ajaran-ajarannya.
Karakter hukum Islam yang bersifat akomodatif terhadap budaya merupakan bagian dari perwujudan agama yang bersifat universal. Sifat akomodatif ini memungkinkan Islam untuk diterima dan dijalankan di berbagai belahan dunia dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Di Indonesia, misalnya, penerapan hukum Islam yang memperhitungkan aspek budaya lokal telah membantu dalam menciptakan harmonisasi antara kehidupan beragama dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Secara teoritis, meskipun budaya tidak diakui sebagai salah satu sumber yurisprudensi hukum Islam, namun dalam praktiknya, budaya memainkan peranan penting dalam proses pembentukan hukum pada batasan-batasan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, Islam sangat menghargai dan mengakomodasi keberagaman budaya yang ada di dunia.